Senin, 21 Maret 2016

Meluruskan Artikel “Mengapa Ulama Aswaja NU Begitu Takut Dengan Wahabi” (3)



Oleh : Ahmad Saifuddin *
5. Apabila kita mencermati sejarah dakwah para Rasul, niscaya akan dijumpai bahwa kelompok yang paling keras menentang dakwah tauhid para Rasul tersebut adalah mereka yang selalu menamakan dirinya sebagai ―pembela ajaran nenek moyang‖. Begitu pula kita dapati hari ini, yang paling keras menentang dakwah salaf yang mengajak umat Islam untuk memurnikan peribadatan kepada Allah, adalah kelompok yang menamakan dirinya sebagai ―pemelihara tradisi nenek moyang.‖ Selanjutnya, berkembangnya dakwah salafiyah di tengah masyarakat sama artinya dengan terbongkarnya klaim dusta Ahlus Sunnah wal Jama‘ah yang selama ini mereka gembar-gemborkan. Nyatanya, yang mereka praktekkan bukanlah akidah dan amaliah Ahlus Sunnah wal Jama‘ah sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW dan para sahabatnya, melainkan amalan-amalan Ahli bid‘ah wal firqah, entah itu firqah Asy‘ariyah, shufiyah, quburiyah, batiniyah, filsafat, hingga kejawen yang saling bercampur aduk.
BANTAHAN:
Bantahan : Mengenai sebutan NU sebagai ―pemelihara tradisi nenek moyang‖, memang dilegitimasi oleh agama, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa Islam melegitimasi untuk memelihara dan menghargai tradisi, misalkan Imam Ahmad ibn Hanbal memakruhkan shalat dua raka‘at sebelum Maghrib karena masyarakat mengingkarinya. Tasyabuh pun juga mendapatkan legitimasi, seperti yang sudah dijelaskan mengenai asal usul aqiqah dan ruqyah yang berasal dari tradisi jahiliyah serta puasa Asyura yang berasal dari tradisi Yahudi. Namun, jika NU hanya disebut sebagai pemelihara tradisi tanpa mengikuti dalil, hal itu salah besar. NU senantiasa konsisten dalam melaksanakan istinbath al-ahkam berdasarkan empat madzhab, di atas dasar Al Qur‘an, Sunnah, Ijma‘, dan Qiyas [39]. Muhammad Karyono juga salah besar jika menganggap Asy‘ariyah dan sufi adalah firqah. Asy‘ariyah dan sufi adalah bagian dari Islam, seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Justru Wahhabi-lah yang menjadi firqah [40] karena menyempal dari golongan mayoritas (sawad al a‘dham dan al-jama‘ah) dan selalu memunculkan perpecahan umat. Selain itu, kemunculan Wahhabi ini pun sudah diprediksi oleh Nabi Muhammad SAW yang mengatakan bahwa dari Najd akan muncul fitnah umat Islam [41] dengan berbagai ciri-ciri dan beberapa istilah, misalkan istilah muncul tanduk setan, pandai membaca Al Qur‘an dan rajin beribadah, tetapi sama sekali tidak memahami pengetahuan keagamaan. [42]

Di sisi lain, Nabi Muhammad SAW sudah memprediksikan kemunculan empat imam madzhab yang dianut oleh NU dalam mencontoh Nabi Muhammad SAW, yaitu Imam Abu Hanifah [43], Imam Malik ibn Anas [44], Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi‘i [45], dan Imam Ahmad ibn Hanbal [46]. Baik Imam Abu Hasan al-Asy‘ari dan Abu Manshur al-Maturidi maupun empat imam madzhab tersebut, termasuk ulama salaf. [47]

Sebaliknya, Wahhabi yang mengaku beraliran salaf, justru memiliki panutan (Ibnu Taimiyah, Muhammad ibn Abdul Wahhab, al-'Utsaimin, Nashiruddin al-Abani, Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Baz) yang sama sekali bukan ulama salaf. [48]
6. Sekiranya para kyai aswaja NU mau menanggalkan hawa nafsu dan sikap fanatisme yang membabi buta terhadap tradisi leluhur mereka, niscaya mereka bakal mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada para dai salafi yang telah meluruskan makna Ahlus Sunnah wal Jama‘ah yang selama ini mereka pahami secara keliru.
BANTAHAN:
Muhammad Karyono menganggap ulama NU belum menanggalkan hawa nafsunya. Padahal, terbukti bahwa yang justru tidak pernah menanggalkan hawa nafsu adalah Wahhabi. Misalkan, setiap proses perjalanan Wahhabi selalu ditandai dengan pembunuhan, pembantaian [49], dan penghancuran situs bersejarah. Bayangkan jika situs bersejarah, bahkan makam Nabi Muhammad SAW, dihancurkan. Maka umat Islam tidak akan memiliki bukti empirik adanya Nabi Muhammad SAW sehingga agama Islam akan mudah digoyahkan. Namun, pertolongan Allah SWT turun dalam bentuk adanya Komite Hijaz yang dibentuk oleh ulama-ulama NU dan mencegah rencana jahat Raja Saud menghancurkan makam Nabi Muhammad SAW.

Selain pembunuhan dan pembantaian, Wahhabi juga gemar melakukan pemotongan dan pengubahan (distorsi/ tahrif) terhadap kitab-kitab ulama klasik agar masyarakat terkecoh bahwa ulama-ulama klasik memiliki pendapat yang sama dengan Wahhabi, padahal jelas berbeda. Kitab al-Ibanah ‗an Ushul al-Diyanah karya al-Imam Abu al-Hasan al-Asy‘ari. Kitab al-Ibanah yang diterbitkan di Saudi Arabia, Beirut dan India disepakati telah mengalami tahrif dari kaum Wahhabi. Hal ini bisa dilihat dengan membandingkan isi kitab al-Ibanah tersebut dengan al-Ibanah edisi terbitan Mesir yang di-tahqiq oleh Fauqiyah Husain Nashr. Tafsir Ruh al-Ma‘ani karya al-Imam Mahmud al-Alusi juga mengalami nasib yang sama dengan al-Ibanah. Kitab tafsir setebal tiga puluh dua jilid ini telah di-tahrif oleh putra pengarangnya, Syaikh Nu‘man al-Alusi yang terpengaruh ajaran Wahabi. Tafsir al-Kasysyaf, karya al-Imam al-Zamakhsyari juga mengalami nasib yang sama. Dalam edisi terbitan Maktabah al-Ubaikan, Riyadh, Wahabi melakukan banyak tahrif terhadap kitab tersebut, antara lain ayat 22 dan 23 Surat al-Qiyamah, yang di-tahrif dan disesuaikan dengan ideologi Wahabi. Hasyiyah al-Shawi ‗ala Tafsir al-Jalalain yang beredar dewasa ini baik edisi terbitan Dar al-Fikr maupun Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah juga mengalami tahrif dari tangan-tangan jahil Wahabi, yakni penafsiran al-Shawi terhadap surat al-Baqarah ayat 230 dan surat Fathir ayat 7. Wahabi juga telah membuang bahasan tentang istighatsah dalam kitab al-Mughni karya Ibn Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali, kitab fiqih terbaik dalam madzhab Hanbali. Kitab al-Adzkar al-Nawawiyyah karya al-Imam al-Nawawi dalam edisi terbitan Darul Huda, 1409 H, Riyadh Saudi Arabia, yang di-tahqiq oleh Abdul Qadir al-Arna‘uth dan di bawah bimbingan Direktorat Kajian Ilmiah dan Fatwa Saudi Arabia, telah di-tahrif sebagian judul babnya dan sebagian isinya dibuang. Yaitu Bab Ziyarat Qabr Rasulillah SAW diganti dengan Bab Ziyarat Masjid Rasulillah SAW dan isinya yang berkaitan dengan kisah al-‘Utbi ketika ber-tawasul dan ber-istighatsah dengan Rasulullah saw, juga dibuang. [50]

Wahhabi mendistorsi kata Imam Syafi‘i dalam Kitab Diwan al-Imam Syafi‘i. Wahhabi telah menghilangkan nasehat Imam Syafi‘i dalam Diwan al-Imam Asy-Syafi‘i, Dar al-Jil, Beirut, Lebanon 1974, halaman 34 berikut : ‖Jadilah ahli fikih dan sufi sekaligus, jangan hanya salah satunya. Sungguh demi Allah, saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang ini (yang hanya mempelajari ilmu fikih tapi tidak mau menjalani tasawuf), maka hatinya keras dan tidak dapat merasakan lezatnya taqwa. Sebaliknya, orang yang itu (yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari fikih), maka ia akan bodoh, sehingga bagaimana bisa dia menjadi benar?‖. Wahhabi juga memalsukan kitab al-Adzkar karya Imam Nawawi, memalsukan perkataan Imam as-Subki dalam Syarh al-'Aqidah al-Thahawiyah, memalsukan kitab ‗Aqidah al-Salaf Ashhabu al-Hadits, memalsukan kitab Hasyiyah al-Shawi, memalsukan kitab al-Kasyaf karya Imam Zamakhsyari, memalsukan kitab al-Ibanah karya KH. Muhammad Hasyim Asy‘ari, memalsukan kitab Shahih Bukhari dan Muslim, menghapus hadits-hadits dalam Musnad Imam Ahmad, memalsukan kitab Majmu‘ al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah, dan memalsukan kitab Iqtidha al-Shirath al-Mustaqim. [51]

Wahhabi dalam mencuci otak masyarakat awam, selalu memakai kaidah Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa Ilaihi yang artinya Kalau sekiranya perbuatan itu baik, tentulah para Shahabat telah mendahului kita mengamalkannya. Padahal, dalam fiqh dan ushul fiqh, tidak dikenal kaidah tersebut. Kaidah itu justru mirip rasionalisasi orang-orang kafir dalam menolak Al Qur‘an. ―Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: "Kalau sekiranya dia (Al Qur‘an) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: ―Ini adalah dusta yang lama". (QS Al Ahqaf ayat 11)

Berdasarkan berbagai penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa setiap yang dituliskan oleh Muhammad Karyono hanya berdasarkan prasangka tanpa data sehingga mengarah pada fitnah dan jelas tidak ilmiah. Nahdlatul 'Ulama tidak takut menghadapi ekspansi Wahhabi, yang ditakutkan oleh Nahdlatul 'Ulama adalah jika umat Islam terjangkit pemahaman keagamaan Wahhabi yang tekstual, mudah mengkafirkan, mudah membid‘ahkan, khawarij [52], mujassimah [53], dan musyabbihah [54] sehingga umat Islam akan mudah saling menyalahkan dan menganggap dirinya paling benar. Wahhabi, bukan gerakan Islam apalagi pemurni Tauhid. Wahhabi, hanyalah sebuah gerakan politik radikal yang mengatasnamakan agama. Para ulamanya pun bukan ulama salaf dan tidak faqih dalam bidang agama. Sesuai sabda Nabi Muhammad SAW bahwa jika sesuatu diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.

*Ahmad Saifuddin
Wakil Sekretaris PW IPNU Jawa Tengah
 
Catatan Kaki:

[39]Contoh nyata NU meneladani Rasulullah SAW melalui Al Qur‘an, Sunnah, Ijma‘, dan Qiyas terwujud dalam setiap ijtihad kelompok dalam Lembaga Bahtsul Masail NU, yang salah satunya dibukukan dalam buku hasil Muktamar, Musyawarah Alim Ulama, dan Konferensi Besar PBNU. Selain itu, mengenai istinbath al-ahkam ala NU salah satunya dapat dibaca dalam buku Forum Karya Ilmiah 2004, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kediri : Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi‘in, 2008).

[40] Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Akan muncul suatu sekte/firqoh/kaum dari umatku yang pandai membaca Al Qur`an. Dimana, bacaan kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bacaan mereka. Demikian pula shalat kalian daripada shalat mereka. Juga puasa mereka dibandingkan dengan puasa kalian. Mereka membaca Al Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka. Shalat mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan. Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya‖. (HR Muslim 1773). Dalam hadits tersebut, jelas-jelas Nabi Muhammad SAW menyebutkan firqah.

[41] Dari Ibnu Umar ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda sementara beliau menghadap timur (Najd) : "Ingat, sesungguhnya fitnah itu disini, sesungguhnya fitnah itu disini dari arah terbitnya tanduk setan." (HR Muslim 5167).

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna berkata, telah menceritakan kepada kami Husain bin Al Hasan berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu 'Aun dari Nafi‘ dari Ibnu 'Umar berkata, Beliau berdoa: Ya Allah, berkatilah kami pada negeri Syam kami dan negeri Yaman kami. Ibnu 'Umar berkata, Para sahabat berkata, Juga untuk negeri Najed kami. Beliau kembali berdoa: Ya Allah, berkatilah kami pada negeri Syam kami dan negeri Yaman kami. Para sahabat berkata lagi, Juga untuk negeri Najed kami. Ibnu 'Umar berkata, Beliau lalu berdoa: Disanalah akan terjadi bencana dan fitnah, dan di sana akan muncul tanduk setan. (HR Bukhari 979)

Dari Ibnu Umar mengatakan, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah memanjatkan doa; Ya Allah, berilah kami barakah dalam Syam kami, ya Allah, berilah kami barakah dalam Yaman kami. Para sahabat berkata; ‗ya Rasulullah, dan juga dalam Nejed kami! ' Rasulullah Shallallahu‘alaihiwasallam membaca doa: Ya Allah, berilah kami barakah dalam Syam kami, ya Allah, berilah kami barakah dalam Yaman kami. Para sahabat berkata; 'Ya Rasulullah, juga dalam Najd kami! ' dan seingatku, pada kali ketiga, beliau bersabda; Disanalah muncul keguncangan dan fitnah, dan disanalah tanduk setan muncul (HR Bukhari 6565)

[42] Telah bercerita kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu‘aib dari Az Zuhriy berkata, telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin 'Abdur Rahman bahwa Abu Sa‘id Al Khudriy radliallahu 'anhu berkata; Ketika kami sedang bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang sedang membagi-bagikan pembagian(harta), datang Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu berkata; Wahai Rasulullah, tolong engkau berlaku adil. Maka beliau berkata: Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil. Kemudian 'Umar berkata; Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk memenggal batang lehernya!. Beliau berkata: Biarkanlah dia. Karena dia nanti akan memiliki teman-teman yang salah seorang dari kalian memandang remeh shalatnya dibanding shalat mereka, puasanya dibanding puasa mereka. Mereka membaca Al Qur‘an namun tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari target (hewan buruan). (HR Bukhari 3341)

Telah menceritakan kepada kami Hannad bin As Sari telah menceritakan kepada kami Abul Ahwash dari Sa‘id bin Masruq dari Abdurrahman bin Abu Nu‘m dari Abu Sa‘id Al Khudri ia berkata; Ketika Ali bin Abi Thalib berada di Yaman, dia pernah mengirimkan emas yang masih kotor kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Lalu emas itu dibagi-bagikan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada empat kelompok. Yaitu kepada Aqra` bin Habis Al Hanzhali, Uyainah bin Badar Al Fazari, Alqamah bin Ulatsah Al Amiri, termasuk Bani Kilab dan Zaid Al Khair Ath Thay dan salah satu Bani Nabhan. Abu Sa‘id berkata; Orang-orang Quraisy marah dengan adanya pembagian itu. kata mereka, Kenapa pemimpin-pemimpin Najd yang diberi pembagian oleh Rasulullah, dan kita tidak dibaginya? maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun menjawab: Sesungguhnya aku lakukan yang demikian itu, untuk membujuk hati mereka. Sementara itu, datanglah laki-laki berjenggot tebal, pelipis menonjol, mata cekung, dahi menjorok dan kepalanya digundul. Ia berkata, Wahai Muhammad! Takutlah Anda kepada Allah! Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Siapa pulakah lagi yang akan mentaati Allah, jika aku sendiri telah mendurhakai-Nya? Allah memberikan ketenangan bagiku atas semua penduduk bumi, maka apakah kamu tidak mau memberikan ketenangan bagiku? Abu Sa‘id berkata; Setelah orang itu berlaku, maka seorang sahabat (Khalid bin Al Walid) meminta izin kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk membunuh orang itu. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: Dari kelompok orang ini, akan muncul nanti orang-orang yang pandai membaca Al Qur`an tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka, bahkan mereka membunuh orang-orang Islam, dan membiarkan para penyembah berhala; mereka keluar dari Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya. Seandainya aku masih mendapati mereka, akan kumusnahkan mereka seperti musnahnya kaum 'Ad. (HR Muslim 1762)
Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Al A‘masy dari Khaitsamah dari Suwaid bin Ghafalah berkata, 'Ali radliallahu 'anhu berkata: Sungguh, aku terjatuh dari langit lebih aku sukai dari pada berbohong atas nama beliau shallallahu 'alaihi wasallam dan jika aku sampaikan kepada kalian tentang urusan antara aku dan kalian, (ketahuilah) bahwa perang itu tipu daya. Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang bersabda: Akan datang di akhir zaman orang-orang muda dalam pemahaman (lemah pemahaman atau sering salah pahaman). Mereka berbicara dengan ucapan manusia terbaik (Khairi Qaulil Bariyyah, maksudnya suka berdalil dengan Al Qur‘an dan Hadits) namun mereka keluar dari agama bagaikan anak panah melesat keluar dari target buruan yang sudah dikenainya. Iman mereka tidak sampai ke tenggorokan mereka. (HR Bukhari 3342)

[43] Hadits yang memprediksi tentang kemunculan Imam Abu Hanifah an-Nu‘man : "Andaikan ilmu agama itu bergantung di bintang tujuh, niscaya akan dijamah oleh orang-orang dari Putra Parsi." (al-Imam Ahmad (7937) dan dinilai shahih oleh al-Hafidh Ibn Hibban (7309). Menurut al-Hafidh al-Suyuthi, hadits tersebut paling tepat sebagai isyarat dan rekomendasi terhadap Imam Abu Hanifah, karena dari sekian banyak ulama yang berasal dari keturunan bangsa Parsi, hanya Imam Abu Hanifah yang memiliki reputasi dan popularitas tertinggi dan diikuti oleh banyak umat Islam di dunia.

[44] Hadits yang memprediksi tentang kemunculan Imam Malik ibn Anas : "Hampir datang suatu masa, orang-orang bepergian dengan cepat dari negeri-negeri yang jauh dalam rangka mencari ilmu, lalu mereka tidak menemukan orang yang lebih alim daripada seorang alim di Madinah." (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi (2604) dan Ahmad (7639). Menurut Imam Sufyan ibn 'Uyainah, Ahmad ibn Hanbal, al-Hafidh al-Tirmidzi, hadits tersebut sebagai isyarat dan rekomendasi terhadap Imam Malik ibn Anas karena dari sekian banyak ulama yang berasal dari Madinah, hanya Imam Malik ibn Anas yang memiliki reputasi dan popularitas tertinggi dan diikuti oleh banyak umat Islam di dunia.

[45] Hadits yang memprediksi tentang kemunculan Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi‘i : "Seorang ulama dari suku Quraisy, ilmunya akan menyebar ke berbagai tempat di bumi." (Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud al-Thayalisi (309), Abu Nu‘aim dalam Hilyah al-Auliya‘ (6/ 295), al-Hafidh al-Baihaqi dalam Manaqib al-Syafi‘i (1/ 54), al-Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh al-Baghdad (2/ 61). Hadits ini dinilai hasan oleh al-Tirmidzi dan al-Hafidh ibn Hajar. Menurut Imam Ahmad ibn Hanbal, al-Hafidh al-Baihaqi, al-Hafidh abu nu‘aim, al-Hafidh al-Suyuthi, hadits tersebut sebagai isyarat dan rekomendasi terhadap Imam Syafi‘i karena dari sekian banyak ulama yang berasal dari keturunan Quraisy, hanya Imam Syafi‘i yang memiliki reputasi dan popularitas tertinggi dan diikuti oleh banyak umat Islam di dunia.

[46] Tentang Imam Ahmad ibn Hanbal, seorang mujtahid terakhir di antara Empat Imam Madzhab dengan keistimewaan memiliki hafalan hadits terbanyak. Di antara sekian banyak mujtahid yang ada, beliau disepakati memiliki hafalan hadits terbanyak, dengan hafal sebanyak satu juta hadits. Dalam satu riwayat, ketika Imam Syafi‘i tinggal di Mesir di akhir hayatnya, beliau menyuruh muridnya yang bernama al-Rabi‘ ibn Sulaiman al-Muradi (174 H—270 H/ 70 M—883 M) untuk menyampaikan surat kepada Imam Ahmad ibn Hanbal. Setelah membacanya, Imam Ahmad langsung menangis lalu al-Rabi‘ bertanya, "Mengapa engkau menangis?‖ Imam Ahmad menjawab, ―al-Syafi‘i menyampaikan dalam suratnya bahwa ia telah bermimpi bertemu Rasulullah SAW dan bersabda : ―Kirimkan surat kepada Ahmad ibn Hanbal dan sampaikanlah salamku. Katakan kepadanya, bahwa kamu (Imam Ahmad ibn Hanbal) akan mendapat ujian tentang kemakhlukan Al-Qur‘an, karenanya jangan kamu ikuti pendapat mereka. Kami akan meninggikan derajatmu hingga hari kiamat."

[47] "Sebaik-baik umatku adalah generasiku, kemudian mereka yang datang setelahnya, kemudian mereka yang datang setelahnya." (H.R. al-Bukhari (2457) dan Muslim (4603). "Kebahagiaan bagi orang yang melihatku, dan bagi orang yang melihat orang yang melihatku, dan bagi orang yang melihat orang yang melihat orang yang melihatku." (H.R. 'Abd ibn Humaid dan Ibn Asakir, termasuk hadits hasan seperti yang dikemukakan oleh al-Hafidh Jalaluddin al-Suyuthi dalam al-Jami‘ al-Shaghir juz II halaman 55). Dua hadits terakhir kemudian ditafsirkan oleh para ilmuwan Muslim dalam mengkategorikan kalangan Salaf (yaitu golongan yang hidup sebelum tahun 300 Hijriyah) dan kalangan Khalaf (yaitu golongan yang hidup setelah tahun 300 Hijriyah), dengan asumsi bahwa satu generasi dihitung seratus tahun dan dalam hadits tersebut dijelaskan keutamaan generasi salaf, yaitu mulai dari kalangan sahabat Rasulullah Muhammad SAW sampai dengan Empat Imam Madzhab, dimana Imam Abu Hanifah hidup pada masa 80 Hijriyah sampai 150 Hijriyah, Imam Malik ibn Anas hidup pada masa 93 Hijriyah sampai 170 Hijriyah, Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi‘i hidup pada masa 150 Hijriyah sampai 204 Hijriyah, dan Imam Ahmad ibn Hanbal wafat pada tahun 241 Hijriyah, dan keempatnya memiliki genealogi atau sanad (mata rantai) keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW dan valid.

[48] Lain dengan Ahmad Taqiyuddin Ibnu Taimiyah (sering dipanggil Ibnu Taimiyah) yang hidup pada masa 661 Hijriyah sampai 728 Hijriyah, Muhammad ibn Abdul Wahhab yang lahir setelah generasi salaf (1115 Hijriyah), Nashiruddin al-Albani yang lahir pada tahun 1333 Hijriyah, Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Abdurrahman ibn Muhammad ibn Abdullah ibn Baz yang lahir pada tahun 1330 Hijriyah, dan Muhammad ibn Shalih al-Utsaimin yang lahir pada tahun 1347 Hijriyah serta tidak memiliki genealogi atau sanad (mata rantai) keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW dan valid. Mereka termasuk generasi setelah tahun 300 Hijriyah atau abad ke-3 Hijriyah dimana di dalam hadits pada footnote 43 tersebut dijelaskan bahwa keutamaan generasi salaf lebih utama daripada generasi sesudahnya.

[49] Dapat dibaca di buku Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2011). Dalam buku tersebut dijelaskan berbagai pembunuhan dan pembantaian yang dilakukan oleh Wahhabi, misalkan pembantaian di Karbala, Thaif, Makkah, Madinah, Riyadl, Yaman, dan Iran.

[50] http://jombang.nu.or.id/distorsi-kitab-oleh-wahabi/
Beberapa laman yang menjelaskan mengenai distorsi yang sudah dilakukan oleh Wahhabi adalah sebagai berikut : http://ummatipress.com/2010/02/25/tentang-kedustaan-albani-bukan-omong-kosong/, http://ummatipress.com/2011/05/01/terbongkar-pemalsuan-kitab-kitab-ulama-oleh-tangan-tangan-salafi-wahabi/, http://www.facebook.com/notes/aqidah-ahlussunnah-allah-ada-tanpa-tempat/kejahatan-wahabi-di-depan-mata-mereka-merombak-kitab-al-washiyyah-karya-imam-abu/444678025549112, http://blog-dari.blogspot.com/2010/09/kitab-futuhat-makkiyah-sudah-diubah.html, http://sabili.co.id/indonesia-kita/kiai-nu-ada-pemalsuan-kitab-kitab-ulama-timteng

[51] Lihat Syaikh Idahram, Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik : Episode Kebohongan Publik Sekte Salafi Wahabi, (Yogyakarta, Pustaka Pesantren, 2011).

[52] Persamaan antara Wahhabi dan khawarij sangat banyak, misalkan memahami Al Qur‘an dan Sunnah secara tekstual dan dangkal, memahami dalil agama secara sepotong-sepotong, rajin beribadah namun tidak mengimpkementasikan akhlak yang mulia, mudah menganggap kafir umat Islam di luar golongan mereka (Khawarij bahkan mengkafirkan 'Ali ibn Abu Thalib dan Mu‘awiyah), mudah membid‘ahkan amaliyah orang lain.

Dari kalangan ulama madzhab al-Maliki, al-Imam Ahmad bin Muhammad al-Shawi al-Maliki, ulama terkemuka abad 12 Hijriah dan semasa dengan pendiri Wahhabi, berkata dalam Hasyiyah 'ala Tafsir al-Jalalain sebagai berikut: "Ayat ini turun mengenai orang-orang Khawarij, yaitu mereka yang mendistorsi penafsiran al-Qur‘an dan Sunnah, dan oleh sebab itu mereka menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin sebagaimana yang terjadi dewasa ini pada golongan mereka, yaitu kelompok di negeri Hijaz yang disebut dengan aliran Wahhabiyah, mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh sesuatu (manfaat), padahal merekalah orang-orang pendusta." (Hasyiyah al-Shawi ‗ala Tafsir al-Jalalain, juz 3, hal. 307).

Dari kalangan ulama madzhab Hanafi, al-Imam Muhammad Amin Afandi yang populer dengan sebutan Ibn Abidin, juga berkata dalam kitabnya, Hasyiyah Radd al-Muhtar sebagai berikut: "Keterangan tentang pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab, kaum Khawarij pada masa kita. Sebagaimana terjadi pada masa kita, pada pengikut Ibn Abdil Wahhab yang keluar dari Najd dan berupaya keras menguasai dua tanah suci. Mereka mengikuti madzhab Hanabilah. Akan tetapi mereka meyakini bahwa mereka saja kaum Muslimin, sedangkan orang yang berbeda dengan keyakinan mereka adalah orang-orang musyrik. Dan oleh sebab itu mereka menghalalkan membunuh Ahlussunnah dan para ulamanya sampai akhirnya Allah memecah kekuatan mereka, merusak negeri mereka dan dikuasai oleh tentara kaum Muslimin pada tahun 1233 H." (Ibn Abidin, Hasyiyah Radd al-Muhtar ‗ala al-Durr al-Mukhtar, juz 4, hal. 262).

Dari kalangan ulama madzhab Syafi‘i, al-Imam al-Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan al-Makki, guru pengarang I‘anah al-Thalibin, kitab yang sangat otoritatif (mu‘tabar) di kalangan ulama di Indonesia, berkata: ―Sayyid Abdurrahman al-Ahdal, mufti Zabid berkata: ―Tidak perlu menulis bantahan terhadap Ibn Abdil Wahhab. Karena sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam cukup sebagai bantahan terhadapnya, yaitu ―Tanda-tanda mereka (Khawarij) adalah mencukur rambut (maksudnya orang yang masuk dalam ajaran Wahhabi, harus mencukur rambutnya)‖. Karena hal itu belum pernah dilakukan oleh seorang pun dari kalangan ahli bid‘ah.‖ (Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Fitnah al-Wahhabiyah, hal. 54).

[53] Wahhabi mengakui Allah SWT memiliki jism, misalkan memahami ―yadullahu‖ itu adalah tangan Allah SWT, tidak dita‘wil.

[54] Mengimani ayat-ayat mutasyabbihat secara tekstual misalkan mengimani makna "istawa"-Nya Allah itu bersemayam seperti bersemayamnya manusia, Allah SWT berada di atas 'arsy. Wahhabi juga memaknai Allah SWT turun ke langit bumi seperti turunnya manusia dari tangga. Wahhabi tidak memakai ta‘wil, padahal para shahabat dan ulama salaf mengajarkan ta‘wil, misalkan Sufyan ibn Uyainah, Ahmad ibn Hanbal, Imam al-Bukhari, al-Nazhar ibn Sumail, Ibn Jarir al-Thabari, al-Hafidh Ibn Hibban, Sufyan al-Tsauri, al-Tirmidzi, al-Imam Malik, Ibnu 'Abbas, dan al-Hasan al-Bashri. Lihat : Al-Imam Badruddin al-Zarkasyi, al-Burhan fi 'Ulum al-Qur‘an, juz 2, (Kairo, : Al-Halabi, 1957), halaman 78 (edisi Muhammad Abu al-Fadhl Ibrahim); Muhammad ibn Ali al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haqq min ‗Ilm al-Ushul, (Beirut : Dar al-Fikr, tanpa tahun), halaman 176.

Sumber : http://www.muslimedianews.com/

Meluruskan Artikel “Mengapa Ulama Aswaja NU Begitu Takut Dengan Wahabi” (2)

Oleh : Ahmad Saifuddin *
3.    Tentu saja tafsir ulama versi aswaja NU adalah kyai yang sejalan dengan model beragama mereka, seperti demen tahlilan, yasinan, mauludan atau tawashulan dengan perantara arwah para wali. Adapun ulama di luar golongan mereka, kendati selevel ahli hadis abad moderen Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani pun ditolaknya karena fatwa-fatwanya yang justru menelanjangi kesesatan beragama mereka.
BANTAHAN :
Tawasul, maulid, tahilan, dan sufi sangat erat kaitannya dengan Islam, bahkan bagian dari agama Islam. Amalan-amalan tersebut memiliki dalil kuat dalam Al Qur’an Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Misalkan, ulama salaf tidak ada yang membedakan antara tawasul dengan orang hidup dengan tawasul dengan orang mati. [26] Selain itu, ritual maulid Nabi Muhammad SAW [27], kirim pahala untuk mayyit, dan tahlilan (peringatan kematian) [28] juga memiliki legitimasi yang kuat dalam Islam, sehingga bukan termasuk bid’ah dan tasyabuh. Sedangkan mengenai Nashiruddin al-Albani, ulama hadits kebanggaan Wahhabi, justru bukanlah ulama hadits karena tidak memiliki sanad yang jelas kepada para ahli hadits. Pada awalnya, Nashiruddin Al-Albani hanyalah bekerja sebagai tukang jam. Namun karena kesukaan dia membaca buku, maka dia akhirnya mempelajari hadits tanpa bimbingan siapapun. Bahkan, banyak ulama yang mengkritik beliau. Di antara ulama Islam yang mengkritik al-Albani adalah al-Imam al-Jalil Muhammad Yasin al-Fadani penulis kitab al-Durr al-Mandhud Syarh Sunan Abi Dawud dan Fath al-'Allam Syarh Bulugh al-Maram; al-Hafizh Abdullah al-Ghummari dari Maroko; al-Hafizh Abdul Aziz al-Ghummari dari Maroko; al-Hafizh Abdullah al-Harari al-Abdari dari Lebanon pengarang Syarh Alfiyah al-Suyuthi fi Mushthalah al-Hadits; al-Muhaddits Mahmud Sa'id Mamduh dari Uni Emirat Arab pengarang kitab Raf'u al-Manarah li-Takhrij Ahadits al-Tawassul wa al-Ziyarah; al-Muhaddits Habiburrahman al-A'zhami dari India; Syaikh Muhammad bin Ismail al-Anshari seorang peniliti Komisi Tetap Fatwa Wahhabi dari Saudi Arabia; Syaikh Muhammad bin Ahmad al-Khazraji menteri agama dan wakaf Uni Emirat Arab; Syaikh Badruddin Hasan Dayyab dari Damaskus; Syaikh Muhammad Arif al-Juwaijati; Syaikh Hasan bin Ali al-Saqqaf dari Yordania; al-Imam al-Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki dari Mekkah; Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin dari Najd (ulama Wahabi) yang menyatakan bahwa al-Albani tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali; dan lain-lain. Masing-masing ulama tersebut telah mengarang bantahan terhadap al-Albani. 

Tulisan Syaikh Hasan bin Ali al-Saqqaf yang berjudul Tanaqudhat al-Albani al-Wadhihat merupakan kitab yang menarik dan mendalam dalam mengungkapkan kesalahan fatal al-Albani tersebut. Beliau mencatat seribu lima ratus (1500) kesalahan yang dilakukan al-Albani lengkap dengan data dan faktanya. Bahkan menurut penelitian ilmiah beliau, ada tujuh ribu (7000) kesalahan fatal dalam buku-buku yang ditulis al-Albani. Dengan demikian, apabila mayoritas ulama sudah menegaskan penolakan tersebut, berarti Nashiruddin al-Albani itu memang tidak layak untuk diikuti dan dijadikan panutan.
[29]  
Di sisi lain, Nashiruddin al-Albani sendiri mengakui bahwa dirinya bukan seorang muhaddits dan tidak dapat menyampaikan sepuluh hadits yang sanadnya bersambung kepada Nabi Muhammad SAW. [30] 
Kenyataan tersebut di atas juga diakui oleh Syaikh Yusuf Qardhawi di dalam tanggapan beliau terhadap al-Albani yang mengomentari hadis-hadis di dalam kitab beliau berjudul al-Halal wal-Haram fil-Islam, sebagai berikut: Oleh sebab itu, penetapan Syaikh al-Albani tentang dha'if-nya suatu hadits bukan merupakan hujjah yang qath'i (pasti) dan sebagai kata pemutus. Bahkan dapat saya katakan bahwa Syaikh al-Albani hafizhahullah kadang-kadang melemahkan suatu hadits dalam satu kitab dan mengesahkannya (menshahihkannya) dalam kitab lain. Syaikh Yusuf Qardhawi juga banyak menghadirkan bukti-bukti kecerobohan al-Albani dalam menilai hadis yang sekaligus menunjukkan sikapnya yang "plin-plan", sehingga hasil penelitiannya terhadap hadits sangat diragukan dan tidak dapat dijadikan pedoman. Belum lagi bila menilik fatwa-fatwa al-Albani yang kontroversial, maka semakin tampaklah cacat yang dimilikinya itu. [31]
[1]4. Jika kaitannya dengan perpolitikan nasional, sikap NU memang berubah-ubah. Dalam Pemilu 1955, NU yang menjelma sebagai sebuah partai politik turut serta memperjuangkan dasar negara Islam bagi republik ini. Selanjutnya, NU justru duduk mesra bersama-sama kaum nasionalis dan komunis dalam mengusung paham Nasakom. Pada Pemilu 1977, NU menyatakan berfusi dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sepuluh tahun berselang, NU malah berperan sebagai penggembos PPP dengan keputusannya lewat muktamar Situbondo 1984 yang menyatakan kembali ke khittah 1926, tidak berpolitik. Realitanya, kembali ke khittah 1926 ternyata bukannya tidak berpolitik, tetapi justru berpolitik dengan menggembosi PPP. Pasca tumbangnya rezim Orde Baru, kembali ke khittah 1926 yang mereka dengung-dengungkan pun dibuang lagi. PBNU memfasilitasi lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sejumlah tokoh NU yang tidak sejalan dengan platform PKB, turut pula membidani lahirnya beberapa partai seperti Partai Nahdlatul Umat (PNU), Partai Kebangkitan Umat (PKU), dan Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (Partai SUNI).
BANTAHAN:
Saya pribadi tidak paham atas dasar apa Muhammad Karyono mengatakan bahwa NU duduk mesra dengan komunis. Padahal, faktanya NU yang justru getol memberantas komunis dalam bentuk Partai Komunis Indonesia. NU dengan Barisan Ansor Serbaguna-nya (Banser) berani berhadapan secara langsung dengan PKI. Bahkan, tidak sedikit berjatuhan korban dari pihak NU. NU berada di garda terdepan menumpas PKI yang sebenarnya peristiwa PKI tidak hanya pada bulan September—Oktober 1965, namun sudah terjadi permulaan sebelumnya, yaitu pada tahun 1926, 1945, 1948, dan 1960. [32] Dari data dan fakta tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa NU tidak pernah sedikitpun duduk mesra dengan komunis. Kalaupun ada bukti bahwa NU mendukung Nasakom, maka maksud komunis yang didukung adalah konsep sosialismenya yang mengajarkan pemerataan, bukan komunisme secara teologi yang tidak mempercayai adanya Tuhan. [33]

Ketika NU menjelma menjadi partai politik, ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Salah satu diantaranya adalah NU ingin menjalankan politik kenegeraan dan kemasyarakatan, dua tingkat politik yang lebih tinggi dibandingkan politik kekuasaan (tingkat politik terendah). Menurut KH. Said Aqil Siradj dan KH. Shalahuddin Wahid, NU menjadi partai politik tersendiri berpisah dari Masyumi karena banyak tokoh Masyumi non-NU yang meremehkan tokoh-tokoh NU. Selain itu, menurut Greg Fealy dalam bukunya "Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952—1967", menyebutkan bahwa ada tujuan NU saat menjadi partai politik, yaitu penyaluran dana pemerintah terhadap NU, mendapatkan peluang bisnis, dan menduduki jabatan birokrasi. Namun, dengan tiga tujuan tersebut NU justru terjerembab dalam kubangan orientasi politik materialistis dan lalai pada politik kerakyatan. Bahkan, pada periode ini NU dituduh sebagai oportunis dan akomodasionis yang menjadi perode terburuk dalam sejarah NU. Maka dari itu, NU memutuskan kembali ke Khiththah NU pada Muktamar Situbondo 1984. [34] Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan NU menjadi partai politik adalah untuk menjalankan politik kenegaraan dan kemasyarakatan untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Namun, perjalanan politik NU tidak mulus yang mengharuskan NU menegaskan kembali sebagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan yang dituangkan dalam Khiththah NU. Khiththah NU pun juga tidak mengatur aspirasi politik NU, membebaskan warga NU untuk menyalurkan aspirasi politik kepada partai pilihannya masing-masing. Khiththah NU ini juga bertujuan menjauhkan para pengurus NU untuk terlibat politik praktis dengan membawa-bawa nama organisasi NU. Sebenarnya, Khiththah NU tidak hanya berisi aturan politik warga NU, tetapi juga berisi mengenai penegasan identitas NU sebagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan dengan mengamalkan prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jama‘ah. [35]

Dengan demikian, salah besar jika dikatakan bahwa Khiththah NU itu cara NU menggembosi PPP. Terbukti, pasca Khiththah NU, masih banyak orang-orang NU yang memperkuat NU, sebut saja Hamzah Haz (Ketua Umum DPP PPP 1998— 2007) dan Suryadharma Ali (Ketua Umum DPP PPP 2007—2014). Justru NU yang menjadi korban PPP, terbukti Ketua Umum DPP PPP 1978—1989, Dr. H. Jailani Naro, menghapus tokoh-tokoh penting NU dari daftar calon anggota DPR untuk Pemilu 1982. [36] Mengenai pendirian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) oleh NU pada 23 Juli 1998, KH. Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU 1999—2004 dan 2005—2010) menjelaskan mengenai hubungan PKB dan Khiththah NU dan alasan KH. Abdurrahman Wahid menjadi salah satu inisiator PKB. KH. Hasyim Muzadi menjelaskan, "Yang kita khiththahkan itu adalah NU sebagai jama‘ah dan jam‘iyyah. Ini harus menempati posisi khiththah yang hubungannya itu bukan NU—partai, tetapi NU—bangsa. Tetapi, sistem di reformasi itu akan bertumpu pada partai politik. Nah, kalau NU tidak mempunyai partai politik, maka aspirasinya tidak akan dapat disalurkan berikut mindset politiknya. Lha terus bagaimana hubungannya dnegan khiththah? Kita pisah. Karena ketika itu orang NU sebagai komunitas, bisa digerakkan. Maka PKB dapat besar. Ketika PKB dapat besar, anak-anak kita banyak yang menjadi DPR, DPRD, ada yang jadi menteri, bahkan Gus Dur sendiri jadi presiden."[37] Meskipun NU melahirkan PKB, NU tetap menjalankan Khiththah NU, yaitu menegaskan identitas NU sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan serta tidak memaksakan aspirasi politik warga NU untuk memilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ini bukti bahwa NU tidak pernah membuang Khiththah NU seperti yang dituduhkan oleh Muhammad Karyono. Selain itu, memahami NU ketika menjadi partai politik, NU ketika kembali ke Khiththah 1926, dan NU ketika membidani berdirinya PKB, harus secara proporsional. NU ketika menjadi partai politik melibatkan pengurus NU untuk terjun langsung ke dalam praktek politik praktis yang banyak merugikan. Misalkan, Ketua Umum PBNU 1956—1984, KH Idham Chalid menjabat juga sebagai Ketua Umum Partai NU dan menjabat sebagai Ketua DPR/ MPR tahun 1971—1977, Wakil Perdana Menteri II dalam Kabinet Ali Sastroamidjoyo (1956—1957), Wakil Perdana Menteri II dalam Kabinet Djuanda (1957—1959), Wakil Ketua MPRS 1959—1966, Menteri Kesejahteraan Rakyat (1967-1973), dan Menteri Sosial (ad-interim) tahun 1970—1971. Ketika NU menjadi partai politik, setiap pengurus PBNU secara otomatis juga menjadi pengurus partai politik NU. Jabatan politik tersebut membuat NU tidak lagi fokus pada khiththahnya, yaitu organisasi kemasyarakatan dan keagamaan. Maka dari itu, NU memutuskan kembali ke Khiththah 1926 yang dicetuskan dalam Muktamar NU di Situbondo tahun 1984 Oleh KH. Achmad Shiddiq. Lalu, pada reformasi NU membidani kelahiran PKB. Hal ini bukan berarti NU membuang khiththah dan kondisinya jelas sama sekali berbeda ketika NU menjadi partai politik. Ketika NU menjadi partai politik, NU terjun langsung dalam partai NU. Namun, ketika NU membidani PKB, NU hanya menyediakan partai politik tanpa terjun langsung ke PKB. Buktinya, NU memberlakukan larangan rangkap jabatan (melarang pengurus NU merangkap jabatan politik). Bukti lain, NU tidak menggiring dan mengharuskan warganya untuk menyalurkan aspirasi politik ke PKB. Hal ini bukti bahwa meskipun NU membidani lahirnya PKB, NU tetap berpegang teguh pada Khiththah NU 1926. Wujud lain NU masih memegang Khiththah NU adalah ketika Syuriyah PBNU mengeluarkan qarar (ketetapan) untuk menonaktifkan sementara KH. Hasyim Muzadi (yang saat itu menjabat Ketua Umum PBNU dan maju mencalonkan diri menjadi Calon Wakil Presiden berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri dalam Pemilu 2004) dan KH. Shalahuddin Wahid. Selain itu, qarar juga berupa himbauan kepada jama‘ah NU agar menyikapi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2004 dengan bijak. Qarar ini merupakan hasil rapat Syuriyah di Rembang Jawa Tengah 16 Mei 2004 yang dipimpin oleh Rais ‗Amm PBNU KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh. [38]
Catatan Kaki:
 [26]     Dalil tawasul dapat dibaca di buku karya KH. Siradjuddin Abas, 40 Masalah Agama Jilid 1, (Jakarta : Penerbit Pustaka Tarbiyah, 2000), halaman 149 yang menjelaskan tentang hadits yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah bahwa Bilal ibn Harits bertawasul di makam Nabi Muhammad SAW, halaman 152—154 tentang pendapat Syaikh Zaini Dahlan yang berpendapat bertawasul dengan orang hidup dan meninggal adalah tidak ada perbedaannya, yaitu boleh, karena pada hakekatnya tawasul itu tetap memohon kepada Allah SWT; Al Habib Zainul Abidin Al-Alawy, Jawaban Praktis Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, (Tuban : LTN Kesan, 2008), halaman 68—85 yang menjelaskan dalil tentang bolehnya tawasul dengan orang meninggal, misalkan Q.S. An Nisa ayat 54 dan beberapa hadits misalkan hadits Nabi Muhammad bertawasul kepada nabi-nabi sebelum beliau (jelas sudah wafat) ketika mendoakan ibunda Ali ibn Abu Thalib yang wafat dalam kitab Al Ma’rifah oleh Abu Nu’aim yang haditsnya telah ditakhrij oleh At-Thabrani dan Ibnu Majah; Q.S. Al Baqarah ayat 154 dan Q.S. Ali Imran ayat 169 yang menjelaskan bahwa sebenarnya orang yang meninggal di jalan Allah SWT (nabi, rasul, wali) itu sebenarnya mereka tetap hidup; Muhyiddin Abdusshomad, Fiqh Tradisionalis : Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-Hari, (Surabaya : Penerbit Khalista, 2008), halaman 263—270; Tim FBMPP Kediri, Meluruskan Kesalahan Buku Putih Kyai NU, (Surabaya : Bina Aswaja, 2011), halaman 118—124 yang menjelaskan tentang macam tawasul, termasuk tawasul kepada orang yang sudah meninggal; Muhammad Idrus Ramli dan Muhammad Syafiq Alydrus, Kiai NU atau Wahhabi Yang Sesat Tanpa Sadar, (Surabaya : Bina Aswaja, 2011), halaman 49—54 yang menjelaskan tentang kekuatan hadits Bilal bin Harits bertawasul kepada Nabi Muhammad SAW yang sudah wafat di makam Nabi Muhammad SAW, yaitu shahih menurut al-Hafidh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah (VII/ 101), dan al-Hafidh ibnu Hajar dalam Fath al-Bari (II/ 495).
[27]      Dalil Maulid Nabi dapat dibaca pada laman di bawah ini : https://www.facebook.com/ahmad.saifuddin.5011/posts/788900024457306?. Selain itu, dalil lain pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad SAW dapat dibaca di buku KH. Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama Jilid Dua, (Jakarta : Penerbit Pustaka Tarbiyah, 2000), halaman 176—190. Dasar-dasar maulid Nabi diantaranya Q.S. Yunus : 5, hadits Shahîh Muslim [1977] Diriwayatkan dari Abû Qatâdah al-Anshârî RA, bahwa Rasulullâh pernah ditanya tentang puasa Senin. Maka beliau menjawab, “Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku”, Sayyid Muhammad ‘Alawî al-Mâlikî mengatakan, “Pada pokoknya berkumpul mengadakan Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan sesuatu yang sudah lumrah terjadi. Tetapi hal itu termasuk kebiasaan yang baik yang mengandung banyak kegunaan dan manfaat yang (akhirnya) kembali kepada umat Islam sendiri dengan beberapa keutamaan (di dalamnya). Sebab kebiasaan seperti itu memang dianjurkan oleh syara’ secara parsial.” (Mafâhîm Yajib an Tushahhah, halaman 224—226); Ibnu Taimiyyah berkata, “Orang-orang yang melaksanakan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW akan diberi pahala. Demikian pula yang dilakukan oleh sebagian orang, adakalanya bertujuan meniru di kalangan Nasrani yang memperingati kelahiran Nabi Isa AS, dan adakalanya juga dilakukan sebagai ekspresi rasa cinta dan penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Allah SWT akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaan mereka kepada Nabi mereka, bukan dosa atas bid’ah yang mereka lakukan.” (Manhaj a-Salaf fi Fahm al-Nushûsh Bayn al-Nazhariyyah wal al-Tathbîq, halaman 399); Mari kita lihat pendapat Al-Imam Hasan Al-Bashri R.a terhadap peringatan Maulid Nabi Muhammad S.A.W. dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa beliau Al-Imam Hasan Al-Bashri R.A berkata : Andaikata aku memiliki emas sebesar bukit Uhud, maka akan kudermakan semuanya untuk penyelenggaraan pembacaan maulid Rasul. (Lihat kitab Abu-Bakar bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anathuth Thalibin, Darul Fikr, Juz.3, Hal. 255.). Barang siapa mendatangi sebuah tempat dimana disana dibacakan Maulid Nabi (sejarah Nabi Muhammad S.A.W), maka dia telah mendatangi sebuah taman surga. Sebab tujuannya mendatangi itu tidak lain adalah untuk mengungkapkan rasa cinta kepada Rasulullah S.A.W, sedangkan Rasulullah S.A.W bersabda : Barangsiapa mencintaiku, maka dia besamaku di surga. (Lihat kitab Abu Bakar bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anathuth Thalibin, Darul Fikr, Juz.3,Hal.255.)
Dalil Tahlilan dapat dibaca pada buku karya Muhammad Idrus Ramli, Membedah Bid’ah dan Tradisi dalam Perspektif Ahli Hadits dan Ulama Salafi, (Surabaya : Khalista, 2010), halaman 58—64; KH. Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama Jilid Satu, (Jakarta : Penerbit Pustaka Tarbiyah, 2000), halaman 192—222; Muhammad Idrus Ramli. Benarkah Tahlilan dan Kenduri Haram?. (Surabaya : Khalista, 2011); Abiza el-Rinaldi. Haramkah Tahlilan, Yasinan, dan Kenduri Arwah? (Klaten : Pustaka Wasilah, 2012); KH. Muhyidin Abdusshomah. Tahlilan dalam Perspektif Al-Quran dan Sunnah (Kajian Kitab Kuning). (Surabaya : Khalista, 2008), Al Habib Zainul Abidin Al Alawy Al Husaini. Jawaban Praktis Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah. (Tuban : LTN Kesan, 2008). Dalam tahlilan terdapat beberapa hal, misalkan dzikir berjama’ah, kirim pahala, peringatan kematian, yang kesemuanya memiliki dalil kuat. Dzikir berjama’ah dianggap oleh Allah SWT sebagai taman surga. Beberapa dalil peringatan kematian sudah dijelaskan di atas. Sedangkan beberapa dalil kirim pahala adalah sebagai berikut :
”Dari Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari datuknya, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda, ”Tidak ada apa atas salah seorang diantara kamu apabila bermaksud sedekah dengan sedekah sunnah untuk diberikan (pahalanya) kepada kedua orang tuanya. Apabila keduanya muslim, maka pahalanya sampai kepada mereka dan ia (yang bersedekah) mendapat pahala seperti pahala yang dihadiahkan kepada orang tuanya tanpa mengurangi sedikitpun pahala yang diberikan kepada kedua orang tuanya itu.” (Diterangkan oleh Syaikh Muhammad ibn Muhammad al-Munyahi al-Hanbali dalam kitabnya yang berjudul Tashliyatu Ahli al-Mashaib).
”Dari ’Aisyah R.A. sesungguhnya seorang laki-laki berkata kepada Nabi Muhammad SAW : ”Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, dan saya yakin jika ia masih hidup pasti bersedekah. Apakah ia dapat memperoleh pahala, jika saya bersedekah atas anamnya?” Nabi Muhammad SAW menjawab : ”Ya, tentu mendapat pahala.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
ayat Al Quran yang berbunyi ”Wa An Laysa Lil Insaani illaa Maa Sa’aa” (dan sesungguhnya setiap orang tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya) dan hadits nabi ”Idzaa Maata ibnu Aadama In Qatha’a ’Amaluhu” (apabila manusia meninggal, maka amalnya terputus) telah dijelaskan oleh Imam Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya ar-Ruh berkata : Sesungguhnya ayat Al Quran tersebut tidak menafikan keberadaan manfaat yang diperoleh seseorang sebab usaha orang lain. Ayat tersebut menjelaskan bahwa seseorang tidak memiliki selain usahanya sendiri. Adapun amal usaha selainnya, termasuk milik orang yang beramal usaha itu sendiri. Allah SWT tidak berfirman : Sesungguhnya seseorang tidak dapat mengambil manfaat kecuali dengan usahanya sendiri. Adapun mengenai hadits Nabi Muhammad SAW ”Idzaa Maata ibnu Aadama In Qatha’a ’Amaluhu” (apabila manusia meninggal, maka amalnya terputus) maka semakin jelas bahwa beliau bersabda ”In Qatha’a ’Amaluhu” (amalnya terputus), beliau tidak bersabda ”In Qatha’a In Tifaa’uhu” (terputus dalam mengambil manfaat). Beliau memberitakan tentang terputusnya amal orang yang telah meninggal dunia. Adapun mengenai amal orang lain, maka pahala itu milik pelakunya. Apabila amal itu dihadiahkan kepada orang lain yang telah meninggal dunia, maka pahalanya sampai kepada orang tersebut bukan pahala amal orang yang telah meninggal itu, yang terputus adalah amal si mayyit itu, dan yang sampai adalah amal orang lain yang masih hidup yang pahalanya diniatkan untuk orang yang telah meninggal. Harap dicermati. Selain itu, Ibnu Hazm dalam Hukm al-Syari’ah al-Islamiyah fi Ma’tam al-Arba’in, halaman 43 menjelaskan bahwa hadits itu hanya menjelaskan terputusnya amal orang yang telah meninggal dunia, namun sama sekali tidak menjelaskan terputusnya amal orang lain yang dihadiahkan kepadanya serta tidak juga melarang hal tersebut.
Ulama ahli tafsir menerangkan dari Ibnu Abbas R.A. : Sesungguhnya firman Allah SWT ”Wa An Laysa Lil Insaani illaa Maa Sa’aa” (dan sesungguhnya setiap orang tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya) dalam syari’at ini hukumnya telah dihapus (mansukh) dengan firman Allah SWT dalam Q.S. Ath-Thur ayat 21 : ”dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka.” Dari ayat ini telah jelas bahwa Allah SWT memasukkan anak cucu ke surga sebab kebaikan bapak-bapak mereka. ’Ikrimah mengatakan bahwasanya setiap orang tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya adalah untuk kaum Nabi Musa A.S.
Selain itu, mengenai argumentasi tasyabbuh, sudah dijelaskan dalam footnote sebelumnya, mengenai hadits aqiqah, ruqyah, dan puasa Asyura. Lihat juga Muhyiddin Abdusshomad, Fiqh Tradisionalis, (Surabaya : Khalista, 2008), halaman 224—238, yang menjelaskan dalil keabsahan tahlilan, peringatan kematian, bersedekah untuk mayyit, menentukan bilangan tertentu untuk melaksanakan tahlilan.
[29]      Tim Bahtsul Masail PCNU Jember, Membongkar Kebohongan Buku Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat dan Dzikir Syirik Mahrus Ali, (Surabaya : Khalista, 2008), halaman 246—247.
[30]      Asy-Syaikh Abdullah al-Harari, Tabyin Dhalalat al-Albani Syaikh al-Wahhabiyah al-Mutahaddits, cetakan 3, Beirut : Syirkah Dar al-Masyari’ li ath-Thiba’ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi’, tahun 1428 Hijriyah/ 2007 Masehi, halaman 6. Lihat juga buku Syaikh Idahram, Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi, (Yogyakarta, Pustaka Pesantren, 2011), halaman 133—198.
[31]      Lihat DR. Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram , (Jakarta: Robbani Press, 2000), hal. 417.
[30] Asy-Syaikh Abdullah al-Harari, Tabyin Dhalalat al-Albani Syaikh al-Wahhabiyah al-Mutahaddits, cetakan 3, Beirut : Syirkah Dar al-Masyari‘ li ath-Thiba‘ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi‘, tahun 1428 Hijriyah/ 2007 Masehi, halaman 6. Lihat juga buku Syaikh Idahram, Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi, (Yogyakarta, Pustaka Pesantren, 2011), halaman 133—198.

[31] Lihat DR. Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram , (Jakarta: Robbani Press, 2000), hal. 417.
[32] Dinamika antara Nahdlatul ‗Ulama dan Partai Komunis Indonesia secara detail dijelaskan pada buku karya H. Abdul Mun‘im DZ, Benturan NU – PKI 1948 – 1965, (Jakarta : Pengurus Besar Nahdlatul ‗Ulama, 2014). Pada buku tersebut dijelaskan eskalasi politik Indonesia, termasuk berkembangnya komunis dalam wajah PKI, pembantaian yang dilakukan oleh komunis Indonesia di Madiun, aksi pemanasan dan provokasi poliik oleh PKI pada 1950—1954, meletusnya peristiwa G30S/ PKI pada 1965, serta sikap NU terhadap propaganda PKI saat ini. Selain itu, disertakan juga lampiran Surat Instruksi Pucuk Pimpinan Gerakan Pemuda Ansor Nomor 1st/02/PP/1965 yang berisikan instruksi kepada seluruh anggota, kader, dan pimpinan GP Ansor untuk mempertinggi kewaspadaan terhadap gerakan komunis PKI, membantu pihak ABRI dalam memulihkan keamanan dan menjaga keutuhan bangsa. Di sisi lain, PBNU juga mengeluarkan pernyataan bahwa PBNU mencela secara keras atas tindakan Gerakan 30 September dan menolak serta menentang pembentukan ―Dewan Revolusi‖. PBNU beserta seluruh badan otonomnya (PP GP Ansor, PB PMII, PP Sarbumusi, PP Pertanu, PP Muslimat NU, PP Lesbumi, PP Sernemi) juga mengeluarkan ―Resolusi Mengutuk GESTAPU‖ dengan isi meminta Presiden Republik Indonesia membubarkan PKI, membredel semua media massa PKI, dan menghimbau seluruh umat Islam dan kekuatan revolusioner lainnya mengimpun kekuatan untuk membantu ABRI dalam menertibkan dan mengembalikan stabilitas nasional dari kekuatan komunis.
[33] Lihat Ensiklopedia Nahdlatul ‗Ulama : Sejarah, Tokoh, dan Khazanah Pesantren Jilid Tiga, (Jakarta : Matabangsa, 2014), halaman 156—157.
[34] Syafiq Hasyim, Tiga Jenis Politik di NU, dalam Nahdlatul Ulama : Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan, (Jakarta : Kompas, 2010), halaman 3—7.
[35] Khiththah Nahdlatul 'Ulama diterbitkan oleh Lajnah Ta‘lif wa Nasyr PBNU Jakarta 17 Shafar 1406 Hijriyah/ 01 November 1985. Khiththah Nahdlatul 'Ulama juga dapat dibaca pada buku karya KH. A. Busyairi Harits, M.Ag., Islam NU, Pengawal Tradisi Sunni Indonesia, (Surabaya : Penerbit Khalista, 2010), halaman 112—139; Ensiklopedia Nahdlatul ‗Ulama : Sejarah, Tokoh, dan Khazanah Pesantren Jilid Tiga, (Jakarta : Matabangsa, 2014), halaman 221—231. Sedangkan Pedoman Berpolitik Nahdlatul 'Ulama dapat dilihat pada Ensiklopedia Nahdlatul 'Ulama : Sejarah, Tokoh, dan Khazanah Pesantren Jilid Tiga, (Jakarta : Matabangsa, 2014), halaman 232—234. Pedoman berpolitik tersebut berisi berpolitik bagi NU adalah mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai Pancasila dan UUD 1945, politik yang berwawasan kebangsaan dan menju integrasi bangsa, pengembangan nilai kemerdeaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bangsa, berpolitik sesuai dengan moral etika, dilakukan dengan jujur dan adil dan dengan musyawarah mufakat, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama, serta menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional.
[36] Ensiklopedia Nahdlatul ‗Ulama : Sejarah, Tokoh, dan Khazanah Pesantren Jilid Tiga, (Jakarta : Matabangsa, 2014), halaman 217.
[37] Diambil dari cuplikan Film Dokumenter berjudul ―Nahdlatul Ulama dan Sejarah Kebangsaan‖.
[38] Ensiklopedia Nahdlatul ‗Ulama : Sejarah, Tokoh, dan Khazanah Pesantren Jilid Empat, (Jakarta : Matabangsa, 2014), halaman 18—20.