Senin, 21 Maret 2016

Meluruskan Artikel “Mengapa Ulama Aswaja NU Begitu Takut Dengan Wahabi” (2)

Oleh : Ahmad Saifuddin *
3.    Tentu saja tafsir ulama versi aswaja NU adalah kyai yang sejalan dengan model beragama mereka, seperti demen tahlilan, yasinan, mauludan atau tawashulan dengan perantara arwah para wali. Adapun ulama di luar golongan mereka, kendati selevel ahli hadis abad moderen Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani pun ditolaknya karena fatwa-fatwanya yang justru menelanjangi kesesatan beragama mereka.
BANTAHAN :
Tawasul, maulid, tahilan, dan sufi sangat erat kaitannya dengan Islam, bahkan bagian dari agama Islam. Amalan-amalan tersebut memiliki dalil kuat dalam Al Qur’an Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Misalkan, ulama salaf tidak ada yang membedakan antara tawasul dengan orang hidup dengan tawasul dengan orang mati. [26] Selain itu, ritual maulid Nabi Muhammad SAW [27], kirim pahala untuk mayyit, dan tahlilan (peringatan kematian) [28] juga memiliki legitimasi yang kuat dalam Islam, sehingga bukan termasuk bid’ah dan tasyabuh. Sedangkan mengenai Nashiruddin al-Albani, ulama hadits kebanggaan Wahhabi, justru bukanlah ulama hadits karena tidak memiliki sanad yang jelas kepada para ahli hadits. Pada awalnya, Nashiruddin Al-Albani hanyalah bekerja sebagai tukang jam. Namun karena kesukaan dia membaca buku, maka dia akhirnya mempelajari hadits tanpa bimbingan siapapun. Bahkan, banyak ulama yang mengkritik beliau. Di antara ulama Islam yang mengkritik al-Albani adalah al-Imam al-Jalil Muhammad Yasin al-Fadani penulis kitab al-Durr al-Mandhud Syarh Sunan Abi Dawud dan Fath al-'Allam Syarh Bulugh al-Maram; al-Hafizh Abdullah al-Ghummari dari Maroko; al-Hafizh Abdul Aziz al-Ghummari dari Maroko; al-Hafizh Abdullah al-Harari al-Abdari dari Lebanon pengarang Syarh Alfiyah al-Suyuthi fi Mushthalah al-Hadits; al-Muhaddits Mahmud Sa'id Mamduh dari Uni Emirat Arab pengarang kitab Raf'u al-Manarah li-Takhrij Ahadits al-Tawassul wa al-Ziyarah; al-Muhaddits Habiburrahman al-A'zhami dari India; Syaikh Muhammad bin Ismail al-Anshari seorang peniliti Komisi Tetap Fatwa Wahhabi dari Saudi Arabia; Syaikh Muhammad bin Ahmad al-Khazraji menteri agama dan wakaf Uni Emirat Arab; Syaikh Badruddin Hasan Dayyab dari Damaskus; Syaikh Muhammad Arif al-Juwaijati; Syaikh Hasan bin Ali al-Saqqaf dari Yordania; al-Imam al-Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki dari Mekkah; Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin dari Najd (ulama Wahabi) yang menyatakan bahwa al-Albani tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali; dan lain-lain. Masing-masing ulama tersebut telah mengarang bantahan terhadap al-Albani. 

Tulisan Syaikh Hasan bin Ali al-Saqqaf yang berjudul Tanaqudhat al-Albani al-Wadhihat merupakan kitab yang menarik dan mendalam dalam mengungkapkan kesalahan fatal al-Albani tersebut. Beliau mencatat seribu lima ratus (1500) kesalahan yang dilakukan al-Albani lengkap dengan data dan faktanya. Bahkan menurut penelitian ilmiah beliau, ada tujuh ribu (7000) kesalahan fatal dalam buku-buku yang ditulis al-Albani. Dengan demikian, apabila mayoritas ulama sudah menegaskan penolakan tersebut, berarti Nashiruddin al-Albani itu memang tidak layak untuk diikuti dan dijadikan panutan.
[29]  
Di sisi lain, Nashiruddin al-Albani sendiri mengakui bahwa dirinya bukan seorang muhaddits dan tidak dapat menyampaikan sepuluh hadits yang sanadnya bersambung kepada Nabi Muhammad SAW. [30] 
Kenyataan tersebut di atas juga diakui oleh Syaikh Yusuf Qardhawi di dalam tanggapan beliau terhadap al-Albani yang mengomentari hadis-hadis di dalam kitab beliau berjudul al-Halal wal-Haram fil-Islam, sebagai berikut: Oleh sebab itu, penetapan Syaikh al-Albani tentang dha'if-nya suatu hadits bukan merupakan hujjah yang qath'i (pasti) dan sebagai kata pemutus. Bahkan dapat saya katakan bahwa Syaikh al-Albani hafizhahullah kadang-kadang melemahkan suatu hadits dalam satu kitab dan mengesahkannya (menshahihkannya) dalam kitab lain. Syaikh Yusuf Qardhawi juga banyak menghadirkan bukti-bukti kecerobohan al-Albani dalam menilai hadis yang sekaligus menunjukkan sikapnya yang "plin-plan", sehingga hasil penelitiannya terhadap hadits sangat diragukan dan tidak dapat dijadikan pedoman. Belum lagi bila menilik fatwa-fatwa al-Albani yang kontroversial, maka semakin tampaklah cacat yang dimilikinya itu. [31]
[1]4. Jika kaitannya dengan perpolitikan nasional, sikap NU memang berubah-ubah. Dalam Pemilu 1955, NU yang menjelma sebagai sebuah partai politik turut serta memperjuangkan dasar negara Islam bagi republik ini. Selanjutnya, NU justru duduk mesra bersama-sama kaum nasionalis dan komunis dalam mengusung paham Nasakom. Pada Pemilu 1977, NU menyatakan berfusi dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sepuluh tahun berselang, NU malah berperan sebagai penggembos PPP dengan keputusannya lewat muktamar Situbondo 1984 yang menyatakan kembali ke khittah 1926, tidak berpolitik. Realitanya, kembali ke khittah 1926 ternyata bukannya tidak berpolitik, tetapi justru berpolitik dengan menggembosi PPP. Pasca tumbangnya rezim Orde Baru, kembali ke khittah 1926 yang mereka dengung-dengungkan pun dibuang lagi. PBNU memfasilitasi lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sejumlah tokoh NU yang tidak sejalan dengan platform PKB, turut pula membidani lahirnya beberapa partai seperti Partai Nahdlatul Umat (PNU), Partai Kebangkitan Umat (PKU), dan Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (Partai SUNI).
BANTAHAN:
Saya pribadi tidak paham atas dasar apa Muhammad Karyono mengatakan bahwa NU duduk mesra dengan komunis. Padahal, faktanya NU yang justru getol memberantas komunis dalam bentuk Partai Komunis Indonesia. NU dengan Barisan Ansor Serbaguna-nya (Banser) berani berhadapan secara langsung dengan PKI. Bahkan, tidak sedikit berjatuhan korban dari pihak NU. NU berada di garda terdepan menumpas PKI yang sebenarnya peristiwa PKI tidak hanya pada bulan September—Oktober 1965, namun sudah terjadi permulaan sebelumnya, yaitu pada tahun 1926, 1945, 1948, dan 1960. [32] Dari data dan fakta tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa NU tidak pernah sedikitpun duduk mesra dengan komunis. Kalaupun ada bukti bahwa NU mendukung Nasakom, maka maksud komunis yang didukung adalah konsep sosialismenya yang mengajarkan pemerataan, bukan komunisme secara teologi yang tidak mempercayai adanya Tuhan. [33]

Ketika NU menjelma menjadi partai politik, ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Salah satu diantaranya adalah NU ingin menjalankan politik kenegeraan dan kemasyarakatan, dua tingkat politik yang lebih tinggi dibandingkan politik kekuasaan (tingkat politik terendah). Menurut KH. Said Aqil Siradj dan KH. Shalahuddin Wahid, NU menjadi partai politik tersendiri berpisah dari Masyumi karena banyak tokoh Masyumi non-NU yang meremehkan tokoh-tokoh NU. Selain itu, menurut Greg Fealy dalam bukunya "Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952—1967", menyebutkan bahwa ada tujuan NU saat menjadi partai politik, yaitu penyaluran dana pemerintah terhadap NU, mendapatkan peluang bisnis, dan menduduki jabatan birokrasi. Namun, dengan tiga tujuan tersebut NU justru terjerembab dalam kubangan orientasi politik materialistis dan lalai pada politik kerakyatan. Bahkan, pada periode ini NU dituduh sebagai oportunis dan akomodasionis yang menjadi perode terburuk dalam sejarah NU. Maka dari itu, NU memutuskan kembali ke Khiththah NU pada Muktamar Situbondo 1984. [34] Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan NU menjadi partai politik adalah untuk menjalankan politik kenegaraan dan kemasyarakatan untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Namun, perjalanan politik NU tidak mulus yang mengharuskan NU menegaskan kembali sebagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan yang dituangkan dalam Khiththah NU. Khiththah NU pun juga tidak mengatur aspirasi politik NU, membebaskan warga NU untuk menyalurkan aspirasi politik kepada partai pilihannya masing-masing. Khiththah NU ini juga bertujuan menjauhkan para pengurus NU untuk terlibat politik praktis dengan membawa-bawa nama organisasi NU. Sebenarnya, Khiththah NU tidak hanya berisi aturan politik warga NU, tetapi juga berisi mengenai penegasan identitas NU sebagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan dengan mengamalkan prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jama‘ah. [35]

Dengan demikian, salah besar jika dikatakan bahwa Khiththah NU itu cara NU menggembosi PPP. Terbukti, pasca Khiththah NU, masih banyak orang-orang NU yang memperkuat NU, sebut saja Hamzah Haz (Ketua Umum DPP PPP 1998— 2007) dan Suryadharma Ali (Ketua Umum DPP PPP 2007—2014). Justru NU yang menjadi korban PPP, terbukti Ketua Umum DPP PPP 1978—1989, Dr. H. Jailani Naro, menghapus tokoh-tokoh penting NU dari daftar calon anggota DPR untuk Pemilu 1982. [36] Mengenai pendirian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) oleh NU pada 23 Juli 1998, KH. Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU 1999—2004 dan 2005—2010) menjelaskan mengenai hubungan PKB dan Khiththah NU dan alasan KH. Abdurrahman Wahid menjadi salah satu inisiator PKB. KH. Hasyim Muzadi menjelaskan, "Yang kita khiththahkan itu adalah NU sebagai jama‘ah dan jam‘iyyah. Ini harus menempati posisi khiththah yang hubungannya itu bukan NU—partai, tetapi NU—bangsa. Tetapi, sistem di reformasi itu akan bertumpu pada partai politik. Nah, kalau NU tidak mempunyai partai politik, maka aspirasinya tidak akan dapat disalurkan berikut mindset politiknya. Lha terus bagaimana hubungannya dnegan khiththah? Kita pisah. Karena ketika itu orang NU sebagai komunitas, bisa digerakkan. Maka PKB dapat besar. Ketika PKB dapat besar, anak-anak kita banyak yang menjadi DPR, DPRD, ada yang jadi menteri, bahkan Gus Dur sendiri jadi presiden."[37] Meskipun NU melahirkan PKB, NU tetap menjalankan Khiththah NU, yaitu menegaskan identitas NU sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan serta tidak memaksakan aspirasi politik warga NU untuk memilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ini bukti bahwa NU tidak pernah membuang Khiththah NU seperti yang dituduhkan oleh Muhammad Karyono. Selain itu, memahami NU ketika menjadi partai politik, NU ketika kembali ke Khiththah 1926, dan NU ketika membidani berdirinya PKB, harus secara proporsional. NU ketika menjadi partai politik melibatkan pengurus NU untuk terjun langsung ke dalam praktek politik praktis yang banyak merugikan. Misalkan, Ketua Umum PBNU 1956—1984, KH Idham Chalid menjabat juga sebagai Ketua Umum Partai NU dan menjabat sebagai Ketua DPR/ MPR tahun 1971—1977, Wakil Perdana Menteri II dalam Kabinet Ali Sastroamidjoyo (1956—1957), Wakil Perdana Menteri II dalam Kabinet Djuanda (1957—1959), Wakil Ketua MPRS 1959—1966, Menteri Kesejahteraan Rakyat (1967-1973), dan Menteri Sosial (ad-interim) tahun 1970—1971. Ketika NU menjadi partai politik, setiap pengurus PBNU secara otomatis juga menjadi pengurus partai politik NU. Jabatan politik tersebut membuat NU tidak lagi fokus pada khiththahnya, yaitu organisasi kemasyarakatan dan keagamaan. Maka dari itu, NU memutuskan kembali ke Khiththah 1926 yang dicetuskan dalam Muktamar NU di Situbondo tahun 1984 Oleh KH. Achmad Shiddiq. Lalu, pada reformasi NU membidani kelahiran PKB. Hal ini bukan berarti NU membuang khiththah dan kondisinya jelas sama sekali berbeda ketika NU menjadi partai politik. Ketika NU menjadi partai politik, NU terjun langsung dalam partai NU. Namun, ketika NU membidani PKB, NU hanya menyediakan partai politik tanpa terjun langsung ke PKB. Buktinya, NU memberlakukan larangan rangkap jabatan (melarang pengurus NU merangkap jabatan politik). Bukti lain, NU tidak menggiring dan mengharuskan warganya untuk menyalurkan aspirasi politik ke PKB. Hal ini bukti bahwa meskipun NU membidani lahirnya PKB, NU tetap berpegang teguh pada Khiththah NU 1926. Wujud lain NU masih memegang Khiththah NU adalah ketika Syuriyah PBNU mengeluarkan qarar (ketetapan) untuk menonaktifkan sementara KH. Hasyim Muzadi (yang saat itu menjabat Ketua Umum PBNU dan maju mencalonkan diri menjadi Calon Wakil Presiden berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri dalam Pemilu 2004) dan KH. Shalahuddin Wahid. Selain itu, qarar juga berupa himbauan kepada jama‘ah NU agar menyikapi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2004 dengan bijak. Qarar ini merupakan hasil rapat Syuriyah di Rembang Jawa Tengah 16 Mei 2004 yang dipimpin oleh Rais ‗Amm PBNU KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh. [38]
Catatan Kaki:
 [26]     Dalil tawasul dapat dibaca di buku karya KH. Siradjuddin Abas, 40 Masalah Agama Jilid 1, (Jakarta : Penerbit Pustaka Tarbiyah, 2000), halaman 149 yang menjelaskan tentang hadits yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah bahwa Bilal ibn Harits bertawasul di makam Nabi Muhammad SAW, halaman 152—154 tentang pendapat Syaikh Zaini Dahlan yang berpendapat bertawasul dengan orang hidup dan meninggal adalah tidak ada perbedaannya, yaitu boleh, karena pada hakekatnya tawasul itu tetap memohon kepada Allah SWT; Al Habib Zainul Abidin Al-Alawy, Jawaban Praktis Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, (Tuban : LTN Kesan, 2008), halaman 68—85 yang menjelaskan dalil tentang bolehnya tawasul dengan orang meninggal, misalkan Q.S. An Nisa ayat 54 dan beberapa hadits misalkan hadits Nabi Muhammad bertawasul kepada nabi-nabi sebelum beliau (jelas sudah wafat) ketika mendoakan ibunda Ali ibn Abu Thalib yang wafat dalam kitab Al Ma’rifah oleh Abu Nu’aim yang haditsnya telah ditakhrij oleh At-Thabrani dan Ibnu Majah; Q.S. Al Baqarah ayat 154 dan Q.S. Ali Imran ayat 169 yang menjelaskan bahwa sebenarnya orang yang meninggal di jalan Allah SWT (nabi, rasul, wali) itu sebenarnya mereka tetap hidup; Muhyiddin Abdusshomad, Fiqh Tradisionalis : Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-Hari, (Surabaya : Penerbit Khalista, 2008), halaman 263—270; Tim FBMPP Kediri, Meluruskan Kesalahan Buku Putih Kyai NU, (Surabaya : Bina Aswaja, 2011), halaman 118—124 yang menjelaskan tentang macam tawasul, termasuk tawasul kepada orang yang sudah meninggal; Muhammad Idrus Ramli dan Muhammad Syafiq Alydrus, Kiai NU atau Wahhabi Yang Sesat Tanpa Sadar, (Surabaya : Bina Aswaja, 2011), halaman 49—54 yang menjelaskan tentang kekuatan hadits Bilal bin Harits bertawasul kepada Nabi Muhammad SAW yang sudah wafat di makam Nabi Muhammad SAW, yaitu shahih menurut al-Hafidh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah (VII/ 101), dan al-Hafidh ibnu Hajar dalam Fath al-Bari (II/ 495).
[27]      Dalil Maulid Nabi dapat dibaca pada laman di bawah ini : https://www.facebook.com/ahmad.saifuddin.5011/posts/788900024457306?. Selain itu, dalil lain pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad SAW dapat dibaca di buku KH. Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama Jilid Dua, (Jakarta : Penerbit Pustaka Tarbiyah, 2000), halaman 176—190. Dasar-dasar maulid Nabi diantaranya Q.S. Yunus : 5, hadits Shahîh Muslim [1977] Diriwayatkan dari Abû Qatâdah al-Anshârî RA, bahwa Rasulullâh pernah ditanya tentang puasa Senin. Maka beliau menjawab, “Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku”, Sayyid Muhammad ‘Alawî al-Mâlikî mengatakan, “Pada pokoknya berkumpul mengadakan Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan sesuatu yang sudah lumrah terjadi. Tetapi hal itu termasuk kebiasaan yang baik yang mengandung banyak kegunaan dan manfaat yang (akhirnya) kembali kepada umat Islam sendiri dengan beberapa keutamaan (di dalamnya). Sebab kebiasaan seperti itu memang dianjurkan oleh syara’ secara parsial.” (Mafâhîm Yajib an Tushahhah, halaman 224—226); Ibnu Taimiyyah berkata, “Orang-orang yang melaksanakan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW akan diberi pahala. Demikian pula yang dilakukan oleh sebagian orang, adakalanya bertujuan meniru di kalangan Nasrani yang memperingati kelahiran Nabi Isa AS, dan adakalanya juga dilakukan sebagai ekspresi rasa cinta dan penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Allah SWT akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaan mereka kepada Nabi mereka, bukan dosa atas bid’ah yang mereka lakukan.” (Manhaj a-Salaf fi Fahm al-Nushûsh Bayn al-Nazhariyyah wal al-Tathbîq, halaman 399); Mari kita lihat pendapat Al-Imam Hasan Al-Bashri R.a terhadap peringatan Maulid Nabi Muhammad S.A.W. dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa beliau Al-Imam Hasan Al-Bashri R.A berkata : Andaikata aku memiliki emas sebesar bukit Uhud, maka akan kudermakan semuanya untuk penyelenggaraan pembacaan maulid Rasul. (Lihat kitab Abu-Bakar bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anathuth Thalibin, Darul Fikr, Juz.3, Hal. 255.). Barang siapa mendatangi sebuah tempat dimana disana dibacakan Maulid Nabi (sejarah Nabi Muhammad S.A.W), maka dia telah mendatangi sebuah taman surga. Sebab tujuannya mendatangi itu tidak lain adalah untuk mengungkapkan rasa cinta kepada Rasulullah S.A.W, sedangkan Rasulullah S.A.W bersabda : Barangsiapa mencintaiku, maka dia besamaku di surga. (Lihat kitab Abu Bakar bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anathuth Thalibin, Darul Fikr, Juz.3,Hal.255.)
Dalil Tahlilan dapat dibaca pada buku karya Muhammad Idrus Ramli, Membedah Bid’ah dan Tradisi dalam Perspektif Ahli Hadits dan Ulama Salafi, (Surabaya : Khalista, 2010), halaman 58—64; KH. Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama Jilid Satu, (Jakarta : Penerbit Pustaka Tarbiyah, 2000), halaman 192—222; Muhammad Idrus Ramli. Benarkah Tahlilan dan Kenduri Haram?. (Surabaya : Khalista, 2011); Abiza el-Rinaldi. Haramkah Tahlilan, Yasinan, dan Kenduri Arwah? (Klaten : Pustaka Wasilah, 2012); KH. Muhyidin Abdusshomah. Tahlilan dalam Perspektif Al-Quran dan Sunnah (Kajian Kitab Kuning). (Surabaya : Khalista, 2008), Al Habib Zainul Abidin Al Alawy Al Husaini. Jawaban Praktis Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah. (Tuban : LTN Kesan, 2008). Dalam tahlilan terdapat beberapa hal, misalkan dzikir berjama’ah, kirim pahala, peringatan kematian, yang kesemuanya memiliki dalil kuat. Dzikir berjama’ah dianggap oleh Allah SWT sebagai taman surga. Beberapa dalil peringatan kematian sudah dijelaskan di atas. Sedangkan beberapa dalil kirim pahala adalah sebagai berikut :
”Dari Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari datuknya, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda, ”Tidak ada apa atas salah seorang diantara kamu apabila bermaksud sedekah dengan sedekah sunnah untuk diberikan (pahalanya) kepada kedua orang tuanya. Apabila keduanya muslim, maka pahalanya sampai kepada mereka dan ia (yang bersedekah) mendapat pahala seperti pahala yang dihadiahkan kepada orang tuanya tanpa mengurangi sedikitpun pahala yang diberikan kepada kedua orang tuanya itu.” (Diterangkan oleh Syaikh Muhammad ibn Muhammad al-Munyahi al-Hanbali dalam kitabnya yang berjudul Tashliyatu Ahli al-Mashaib).
”Dari ’Aisyah R.A. sesungguhnya seorang laki-laki berkata kepada Nabi Muhammad SAW : ”Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, dan saya yakin jika ia masih hidup pasti bersedekah. Apakah ia dapat memperoleh pahala, jika saya bersedekah atas anamnya?” Nabi Muhammad SAW menjawab : ”Ya, tentu mendapat pahala.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
ayat Al Quran yang berbunyi ”Wa An Laysa Lil Insaani illaa Maa Sa’aa” (dan sesungguhnya setiap orang tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya) dan hadits nabi ”Idzaa Maata ibnu Aadama In Qatha’a ’Amaluhu” (apabila manusia meninggal, maka amalnya terputus) telah dijelaskan oleh Imam Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya ar-Ruh berkata : Sesungguhnya ayat Al Quran tersebut tidak menafikan keberadaan manfaat yang diperoleh seseorang sebab usaha orang lain. Ayat tersebut menjelaskan bahwa seseorang tidak memiliki selain usahanya sendiri. Adapun amal usaha selainnya, termasuk milik orang yang beramal usaha itu sendiri. Allah SWT tidak berfirman : Sesungguhnya seseorang tidak dapat mengambil manfaat kecuali dengan usahanya sendiri. Adapun mengenai hadits Nabi Muhammad SAW ”Idzaa Maata ibnu Aadama In Qatha’a ’Amaluhu” (apabila manusia meninggal, maka amalnya terputus) maka semakin jelas bahwa beliau bersabda ”In Qatha’a ’Amaluhu” (amalnya terputus), beliau tidak bersabda ”In Qatha’a In Tifaa’uhu” (terputus dalam mengambil manfaat). Beliau memberitakan tentang terputusnya amal orang yang telah meninggal dunia. Adapun mengenai amal orang lain, maka pahala itu milik pelakunya. Apabila amal itu dihadiahkan kepada orang lain yang telah meninggal dunia, maka pahalanya sampai kepada orang tersebut bukan pahala amal orang yang telah meninggal itu, yang terputus adalah amal si mayyit itu, dan yang sampai adalah amal orang lain yang masih hidup yang pahalanya diniatkan untuk orang yang telah meninggal. Harap dicermati. Selain itu, Ibnu Hazm dalam Hukm al-Syari’ah al-Islamiyah fi Ma’tam al-Arba’in, halaman 43 menjelaskan bahwa hadits itu hanya menjelaskan terputusnya amal orang yang telah meninggal dunia, namun sama sekali tidak menjelaskan terputusnya amal orang lain yang dihadiahkan kepadanya serta tidak juga melarang hal tersebut.
Ulama ahli tafsir menerangkan dari Ibnu Abbas R.A. : Sesungguhnya firman Allah SWT ”Wa An Laysa Lil Insaani illaa Maa Sa’aa” (dan sesungguhnya setiap orang tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya) dalam syari’at ini hukumnya telah dihapus (mansukh) dengan firman Allah SWT dalam Q.S. Ath-Thur ayat 21 : ”dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka.” Dari ayat ini telah jelas bahwa Allah SWT memasukkan anak cucu ke surga sebab kebaikan bapak-bapak mereka. ’Ikrimah mengatakan bahwasanya setiap orang tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya adalah untuk kaum Nabi Musa A.S.
Selain itu, mengenai argumentasi tasyabbuh, sudah dijelaskan dalam footnote sebelumnya, mengenai hadits aqiqah, ruqyah, dan puasa Asyura. Lihat juga Muhyiddin Abdusshomad, Fiqh Tradisionalis, (Surabaya : Khalista, 2008), halaman 224—238, yang menjelaskan dalil keabsahan tahlilan, peringatan kematian, bersedekah untuk mayyit, menentukan bilangan tertentu untuk melaksanakan tahlilan.
[29]      Tim Bahtsul Masail PCNU Jember, Membongkar Kebohongan Buku Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat dan Dzikir Syirik Mahrus Ali, (Surabaya : Khalista, 2008), halaman 246—247.
[30]      Asy-Syaikh Abdullah al-Harari, Tabyin Dhalalat al-Albani Syaikh al-Wahhabiyah al-Mutahaddits, cetakan 3, Beirut : Syirkah Dar al-Masyari’ li ath-Thiba’ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi’, tahun 1428 Hijriyah/ 2007 Masehi, halaman 6. Lihat juga buku Syaikh Idahram, Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi, (Yogyakarta, Pustaka Pesantren, 2011), halaman 133—198.
[31]      Lihat DR. Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram , (Jakarta: Robbani Press, 2000), hal. 417.
[30] Asy-Syaikh Abdullah al-Harari, Tabyin Dhalalat al-Albani Syaikh al-Wahhabiyah al-Mutahaddits, cetakan 3, Beirut : Syirkah Dar al-Masyari‘ li ath-Thiba‘ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi‘, tahun 1428 Hijriyah/ 2007 Masehi, halaman 6. Lihat juga buku Syaikh Idahram, Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi, (Yogyakarta, Pustaka Pesantren, 2011), halaman 133—198.

[31] Lihat DR. Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram , (Jakarta: Robbani Press, 2000), hal. 417.
[32] Dinamika antara Nahdlatul ‗Ulama dan Partai Komunis Indonesia secara detail dijelaskan pada buku karya H. Abdul Mun‘im DZ, Benturan NU – PKI 1948 – 1965, (Jakarta : Pengurus Besar Nahdlatul ‗Ulama, 2014). Pada buku tersebut dijelaskan eskalasi politik Indonesia, termasuk berkembangnya komunis dalam wajah PKI, pembantaian yang dilakukan oleh komunis Indonesia di Madiun, aksi pemanasan dan provokasi poliik oleh PKI pada 1950—1954, meletusnya peristiwa G30S/ PKI pada 1965, serta sikap NU terhadap propaganda PKI saat ini. Selain itu, disertakan juga lampiran Surat Instruksi Pucuk Pimpinan Gerakan Pemuda Ansor Nomor 1st/02/PP/1965 yang berisikan instruksi kepada seluruh anggota, kader, dan pimpinan GP Ansor untuk mempertinggi kewaspadaan terhadap gerakan komunis PKI, membantu pihak ABRI dalam memulihkan keamanan dan menjaga keutuhan bangsa. Di sisi lain, PBNU juga mengeluarkan pernyataan bahwa PBNU mencela secara keras atas tindakan Gerakan 30 September dan menolak serta menentang pembentukan ―Dewan Revolusi‖. PBNU beserta seluruh badan otonomnya (PP GP Ansor, PB PMII, PP Sarbumusi, PP Pertanu, PP Muslimat NU, PP Lesbumi, PP Sernemi) juga mengeluarkan ―Resolusi Mengutuk GESTAPU‖ dengan isi meminta Presiden Republik Indonesia membubarkan PKI, membredel semua media massa PKI, dan menghimbau seluruh umat Islam dan kekuatan revolusioner lainnya mengimpun kekuatan untuk membantu ABRI dalam menertibkan dan mengembalikan stabilitas nasional dari kekuatan komunis.
[33] Lihat Ensiklopedia Nahdlatul ‗Ulama : Sejarah, Tokoh, dan Khazanah Pesantren Jilid Tiga, (Jakarta : Matabangsa, 2014), halaman 156—157.
[34] Syafiq Hasyim, Tiga Jenis Politik di NU, dalam Nahdlatul Ulama : Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan, (Jakarta : Kompas, 2010), halaman 3—7.
[35] Khiththah Nahdlatul 'Ulama diterbitkan oleh Lajnah Ta‘lif wa Nasyr PBNU Jakarta 17 Shafar 1406 Hijriyah/ 01 November 1985. Khiththah Nahdlatul 'Ulama juga dapat dibaca pada buku karya KH. A. Busyairi Harits, M.Ag., Islam NU, Pengawal Tradisi Sunni Indonesia, (Surabaya : Penerbit Khalista, 2010), halaman 112—139; Ensiklopedia Nahdlatul ‗Ulama : Sejarah, Tokoh, dan Khazanah Pesantren Jilid Tiga, (Jakarta : Matabangsa, 2014), halaman 221—231. Sedangkan Pedoman Berpolitik Nahdlatul 'Ulama dapat dilihat pada Ensiklopedia Nahdlatul 'Ulama : Sejarah, Tokoh, dan Khazanah Pesantren Jilid Tiga, (Jakarta : Matabangsa, 2014), halaman 232—234. Pedoman berpolitik tersebut berisi berpolitik bagi NU adalah mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai Pancasila dan UUD 1945, politik yang berwawasan kebangsaan dan menju integrasi bangsa, pengembangan nilai kemerdeaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bangsa, berpolitik sesuai dengan moral etika, dilakukan dengan jujur dan adil dan dengan musyawarah mufakat, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama, serta menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional.
[36] Ensiklopedia Nahdlatul ‗Ulama : Sejarah, Tokoh, dan Khazanah Pesantren Jilid Tiga, (Jakarta : Matabangsa, 2014), halaman 217.
[37] Diambil dari cuplikan Film Dokumenter berjudul ―Nahdlatul Ulama dan Sejarah Kebangsaan‖.
[38] Ensiklopedia Nahdlatul ‗Ulama : Sejarah, Tokoh, dan Khazanah Pesantren Jilid Empat, (Jakarta : Matabangsa, 2014), halaman 18—20.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar