Oleh :
Ahmad Saifuddin *
3. Tentu saja tafsir ulama versi aswaja NU adalah kyai
yang sejalan dengan model beragama mereka, seperti demen tahlilan, yasinan,
mauludan atau tawashulan dengan perantara arwah para wali. Adapun ulama di luar
golongan mereka, kendati selevel ahli hadis abad moderen Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albani pun ditolaknya karena fatwa-fatwanya yang justru menelanjangi
kesesatan beragama mereka.
BANTAHAN :
Tawasul, maulid,
tahilan, dan sufi sangat erat kaitannya dengan Islam, bahkan bagian dari agama
Islam. Amalan-amalan tersebut memiliki dalil kuat dalam Al Qur’an Sunnah,
Ijma’, dan Qiyas. Misalkan, ulama salaf tidak ada yang membedakan antara
tawasul dengan orang hidup dengan tawasul dengan orang mati. [26] Selain itu, ritual maulid Nabi Muhammad SAW [27], kirim pahala untuk mayyit, dan tahlilan (peringatan kematian) [28] juga memiliki legitimasi yang kuat dalam Islam, sehingga bukan termasuk
bid’ah dan tasyabuh. Sedangkan mengenai Nashiruddin al-Albani, ulama hadits
kebanggaan Wahhabi, justru bukanlah ulama hadits karena tidak memiliki sanad
yang jelas kepada para ahli hadits. Pada awalnya, Nashiruddin Al-Albani
hanyalah bekerja sebagai tukang jam. Namun karena kesukaan dia membaca buku,
maka dia akhirnya mempelajari hadits tanpa bimbingan siapapun. Bahkan, banyak
ulama yang mengkritik beliau. Di antara ulama Islam yang mengkritik al-Albani
adalah al-Imam al-Jalil Muhammad Yasin al-Fadani penulis kitab al-Durr
al-Mandhud Syarh Sunan Abi Dawud dan Fath al-'Allam Syarh Bulugh
al-Maram; al-Hafizh Abdullah al-Ghummari dari Maroko; al-Hafizh Abdul Aziz
al-Ghummari dari Maroko; al-Hafizh Abdullah al-Harari al-Abdari dari Lebanon
pengarang Syarh Alfiyah al-Suyuthi fi Mushthalah al-Hadits; al-Muhaddits
Mahmud Sa'id Mamduh dari Uni Emirat Arab pengarang kitab Raf'u al-Manarah
li-Takhrij Ahadits al-Tawassul wa al-Ziyarah; al-Muhaddits Habiburrahman
al-A'zhami dari India; Syaikh Muhammad bin Ismail al-Anshari seorang peniliti
Komisi Tetap Fatwa Wahhabi dari Saudi Arabia; Syaikh Muhammad bin Ahmad
al-Khazraji menteri agama dan wakaf Uni Emirat Arab; Syaikh Badruddin Hasan
Dayyab dari Damaskus; Syaikh Muhammad Arif al-Juwaijati; Syaikh Hasan bin Ali
al-Saqqaf dari Yordania; al-Imam al-Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki dari
Mekkah; Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin dari Najd (ulama Wahabi) yang menyatakan
bahwa al-Albani tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali; dan lain-lain.
Masing-masing ulama tersebut telah mengarang bantahan terhadap al-Albani.
Tulisan Syaikh Hasan bin Ali al-Saqqaf yang berjudul Tanaqudhat al-Albani al-Wadhihat merupakan kitab yang menarik dan mendalam dalam mengungkapkan kesalahan fatal al-Albani tersebut. Beliau mencatat seribu lima ratus (1500) kesalahan yang dilakukan al-Albani lengkap dengan data dan faktanya. Bahkan menurut penelitian ilmiah beliau, ada tujuh ribu (7000) kesalahan fatal dalam buku-buku yang ditulis al-Albani. Dengan demikian, apabila mayoritas ulama sudah menegaskan penolakan tersebut, berarti Nashiruddin al-Albani itu memang tidak layak untuk diikuti dan dijadikan panutan. [29]
Tulisan Syaikh Hasan bin Ali al-Saqqaf yang berjudul Tanaqudhat al-Albani al-Wadhihat merupakan kitab yang menarik dan mendalam dalam mengungkapkan kesalahan fatal al-Albani tersebut. Beliau mencatat seribu lima ratus (1500) kesalahan yang dilakukan al-Albani lengkap dengan data dan faktanya. Bahkan menurut penelitian ilmiah beliau, ada tujuh ribu (7000) kesalahan fatal dalam buku-buku yang ditulis al-Albani. Dengan demikian, apabila mayoritas ulama sudah menegaskan penolakan tersebut, berarti Nashiruddin al-Albani itu memang tidak layak untuk diikuti dan dijadikan panutan. [29]
Di sisi lain, Nashiruddin
al-Albani sendiri mengakui bahwa dirinya bukan seorang muhaddits dan
tidak dapat menyampaikan sepuluh hadits yang sanadnya bersambung kepada Nabi
Muhammad SAW. [30]
Kenyataan tersebut di
atas juga diakui oleh Syaikh Yusuf Qardhawi di dalam tanggapan beliau terhadap
al-Albani yang mengomentari hadis-hadis di dalam kitab beliau berjudul al-Halal
wal-Haram fil-Islam, sebagai berikut: Oleh sebab itu, penetapan Syaikh
al-Albani tentang dha'if-nya suatu hadits bukan merupakan hujjah yang qath'i
(pasti) dan sebagai kata pemutus. Bahkan dapat saya katakan bahwa Syaikh
al-Albani hafizhahullah kadang-kadang melemahkan suatu hadits dalam satu
kitab dan mengesahkannya (menshahihkannya) dalam kitab lain. Syaikh
Yusuf Qardhawi juga banyak menghadirkan bukti-bukti kecerobohan al-Albani dalam
menilai hadis yang sekaligus menunjukkan sikapnya yang "plin-plan",
sehingga hasil penelitiannya terhadap hadits sangat diragukan dan tidak dapat
dijadikan pedoman. Belum lagi bila menilik fatwa-fatwa al-Albani yang
kontroversial, maka semakin tampaklah cacat yang dimilikinya itu. [31]
[1]4. Jika
kaitannya dengan perpolitikan nasional, sikap NU memang berubah-ubah. Dalam
Pemilu 1955, NU yang menjelma sebagai sebuah partai politik turut serta
memperjuangkan dasar negara Islam bagi republik ini. Selanjutnya, NU justru
duduk mesra bersama-sama kaum nasionalis dan komunis dalam mengusung paham
Nasakom. Pada Pemilu 1977, NU menyatakan berfusi dengan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP). Sepuluh tahun berselang, NU malah berperan sebagai
penggembos PPP dengan keputusannya lewat muktamar Situbondo 1984 yang
menyatakan kembali ke khittah 1926, tidak berpolitik. Realitanya, kembali ke
khittah 1926 ternyata bukannya tidak berpolitik, tetapi justru berpolitik
dengan menggembosi PPP. Pasca tumbangnya rezim Orde Baru, kembali ke khittah
1926 yang mereka dengung-dengungkan pun dibuang lagi. PBNU memfasilitasi
lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sejumlah tokoh NU yang tidak sejalan
dengan platform PKB, turut pula membidani lahirnya beberapa partai seperti
Partai Nahdlatul Umat (PNU), Partai Kebangkitan Umat (PKU), dan Partai
Solidaritas Uni Nasional Indonesia (Partai SUNI).
BANTAHAN:
Saya pribadi tidak paham atas dasar apa Muhammad Karyono mengatakan bahwa NU duduk mesra dengan komunis. Padahal, faktanya NU yang justru getol memberantas komunis dalam bentuk Partai Komunis Indonesia. NU dengan Barisan Ansor Serbaguna-nya (Banser) berani berhadapan secara langsung dengan PKI. Bahkan, tidak sedikit berjatuhan korban dari pihak NU. NU berada di garda terdepan menumpas PKI yang sebenarnya peristiwa PKI tidak hanya pada bulan September—Oktober 1965, namun sudah terjadi permulaan sebelumnya, yaitu pada tahun 1926, 1945, 1948, dan 1960. [32] Dari data dan fakta tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa NU tidak pernah sedikitpun duduk mesra dengan komunis. Kalaupun ada bukti bahwa NU mendukung Nasakom, maka maksud komunis yang didukung adalah konsep sosialismenya yang mengajarkan pemerataan, bukan komunisme secara teologi yang tidak mempercayai adanya Tuhan. [33]
Ketika NU menjelma menjadi partai politik, ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Salah satu diantaranya adalah NU ingin menjalankan politik kenegeraan dan kemasyarakatan, dua tingkat politik yang lebih tinggi dibandingkan politik kekuasaan (tingkat politik terendah). Menurut KH. Said Aqil Siradj dan KH. Shalahuddin Wahid, NU menjadi partai politik tersendiri berpisah dari Masyumi karena banyak tokoh Masyumi non-NU yang meremehkan tokoh-tokoh NU. Selain itu, menurut Greg Fealy dalam bukunya "Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952—1967", menyebutkan bahwa ada tujuan NU saat menjadi partai politik, yaitu penyaluran dana pemerintah terhadap NU, mendapatkan peluang bisnis, dan menduduki jabatan birokrasi. Namun, dengan tiga tujuan tersebut NU justru terjerembab dalam kubangan orientasi politik materialistis dan lalai pada politik kerakyatan. Bahkan, pada periode ini NU dituduh sebagai oportunis dan akomodasionis yang menjadi perode terburuk dalam sejarah NU. Maka dari itu, NU memutuskan kembali ke Khiththah NU pada Muktamar Situbondo 1984. [34] Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan NU menjadi partai politik adalah untuk menjalankan politik kenegaraan dan kemasyarakatan untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Namun, perjalanan politik NU tidak mulus yang mengharuskan NU menegaskan kembali sebagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan yang dituangkan dalam Khiththah NU. Khiththah NU pun juga tidak mengatur aspirasi politik NU, membebaskan warga NU untuk menyalurkan aspirasi politik kepada partai pilihannya masing-masing. Khiththah NU ini juga bertujuan menjauhkan para pengurus NU untuk terlibat politik praktis dengan membawa-bawa nama organisasi NU. Sebenarnya, Khiththah NU tidak hanya berisi aturan politik warga NU, tetapi juga berisi mengenai penegasan identitas NU sebagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan dengan mengamalkan prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jama‘ah. [35]
Dengan demikian, salah besar jika dikatakan bahwa Khiththah NU itu cara NU menggembosi PPP. Terbukti, pasca Khiththah NU, masih banyak orang-orang NU yang memperkuat NU, sebut saja Hamzah Haz (Ketua Umum DPP PPP 1998— 2007) dan Suryadharma Ali (Ketua Umum DPP PPP 2007—2014). Justru NU yang menjadi korban PPP, terbukti Ketua Umum DPP PPP 1978—1989, Dr. H. Jailani Naro, menghapus tokoh-tokoh penting NU dari daftar calon anggota DPR untuk Pemilu 1982. [36] Mengenai pendirian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) oleh NU pada 23 Juli 1998, KH. Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU 1999—2004 dan 2005—2010) menjelaskan mengenai hubungan PKB dan Khiththah NU dan alasan KH. Abdurrahman Wahid menjadi salah satu inisiator PKB. KH. Hasyim Muzadi menjelaskan, "Yang kita khiththahkan itu adalah NU sebagai jama‘ah dan jam‘iyyah. Ini harus menempati posisi khiththah yang hubungannya itu bukan NU—partai, tetapi NU—bangsa. Tetapi, sistem di reformasi itu akan bertumpu pada partai politik. Nah, kalau NU tidak mempunyai partai politik, maka aspirasinya tidak akan dapat disalurkan berikut mindset politiknya. Lha terus bagaimana hubungannya dnegan khiththah? Kita pisah. Karena ketika itu orang NU sebagai komunitas, bisa digerakkan. Maka PKB dapat besar. Ketika PKB dapat besar, anak-anak kita banyak yang menjadi DPR, DPRD, ada yang jadi menteri, bahkan Gus Dur sendiri jadi presiden."[37] Meskipun NU melahirkan PKB, NU tetap menjalankan Khiththah NU, yaitu menegaskan identitas NU sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan serta tidak memaksakan aspirasi politik warga NU untuk memilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ini bukti bahwa NU tidak pernah membuang Khiththah NU seperti yang dituduhkan oleh Muhammad Karyono. Selain itu, memahami NU ketika menjadi partai politik, NU ketika kembali ke Khiththah 1926, dan NU ketika membidani berdirinya PKB, harus secara proporsional. NU ketika menjadi partai politik melibatkan pengurus NU untuk terjun langsung ke dalam praktek politik praktis yang banyak merugikan. Misalkan, Ketua Umum PBNU 1956—1984, KH Idham Chalid menjabat juga sebagai Ketua Umum Partai NU dan menjabat sebagai Ketua DPR/ MPR tahun 1971—1977, Wakil Perdana Menteri II dalam Kabinet Ali Sastroamidjoyo (1956—1957), Wakil Perdana Menteri II dalam Kabinet Djuanda (1957—1959), Wakil Ketua MPRS 1959—1966, Menteri Kesejahteraan Rakyat (1967-1973), dan Menteri Sosial (ad-interim) tahun 1970—1971. Ketika NU menjadi partai politik, setiap pengurus PBNU secara otomatis juga menjadi pengurus partai politik NU. Jabatan politik tersebut membuat NU tidak lagi fokus pada khiththahnya, yaitu organisasi kemasyarakatan dan keagamaan. Maka dari itu, NU memutuskan kembali ke Khiththah 1926 yang dicetuskan dalam Muktamar NU di Situbondo tahun 1984 Oleh KH. Achmad Shiddiq. Lalu, pada reformasi NU membidani kelahiran PKB. Hal ini bukan berarti NU membuang khiththah dan kondisinya jelas sama sekali berbeda ketika NU menjadi partai politik. Ketika NU menjadi partai politik, NU terjun langsung dalam partai NU. Namun, ketika NU membidani PKB, NU hanya menyediakan partai politik tanpa terjun langsung ke PKB. Buktinya, NU memberlakukan larangan rangkap jabatan (melarang pengurus NU merangkap jabatan politik). Bukti lain, NU tidak menggiring dan mengharuskan warganya untuk menyalurkan aspirasi politik ke PKB. Hal ini bukti bahwa meskipun NU membidani lahirnya PKB, NU tetap berpegang teguh pada Khiththah NU 1926. Wujud lain NU masih memegang Khiththah NU adalah ketika Syuriyah PBNU mengeluarkan qarar (ketetapan) untuk menonaktifkan sementara KH. Hasyim Muzadi (yang saat itu menjabat Ketua Umum PBNU dan maju mencalonkan diri menjadi Calon Wakil Presiden berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri dalam Pemilu 2004) dan KH. Shalahuddin Wahid. Selain itu, qarar juga berupa himbauan kepada jama‘ah NU agar menyikapi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2004 dengan bijak. Qarar ini merupakan hasil rapat Syuriyah di Rembang Jawa Tengah 16 Mei 2004 yang dipimpin oleh Rais ‗Amm PBNU KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh. [38]
Saya pribadi tidak paham atas dasar apa Muhammad Karyono mengatakan bahwa NU duduk mesra dengan komunis. Padahal, faktanya NU yang justru getol memberantas komunis dalam bentuk Partai Komunis Indonesia. NU dengan Barisan Ansor Serbaguna-nya (Banser) berani berhadapan secara langsung dengan PKI. Bahkan, tidak sedikit berjatuhan korban dari pihak NU. NU berada di garda terdepan menumpas PKI yang sebenarnya peristiwa PKI tidak hanya pada bulan September—Oktober 1965, namun sudah terjadi permulaan sebelumnya, yaitu pada tahun 1926, 1945, 1948, dan 1960. [32] Dari data dan fakta tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa NU tidak pernah sedikitpun duduk mesra dengan komunis. Kalaupun ada bukti bahwa NU mendukung Nasakom, maka maksud komunis yang didukung adalah konsep sosialismenya yang mengajarkan pemerataan, bukan komunisme secara teologi yang tidak mempercayai adanya Tuhan. [33]
Ketika NU menjelma menjadi partai politik, ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Salah satu diantaranya adalah NU ingin menjalankan politik kenegeraan dan kemasyarakatan, dua tingkat politik yang lebih tinggi dibandingkan politik kekuasaan (tingkat politik terendah). Menurut KH. Said Aqil Siradj dan KH. Shalahuddin Wahid, NU menjadi partai politik tersendiri berpisah dari Masyumi karena banyak tokoh Masyumi non-NU yang meremehkan tokoh-tokoh NU. Selain itu, menurut Greg Fealy dalam bukunya "Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952—1967", menyebutkan bahwa ada tujuan NU saat menjadi partai politik, yaitu penyaluran dana pemerintah terhadap NU, mendapatkan peluang bisnis, dan menduduki jabatan birokrasi. Namun, dengan tiga tujuan tersebut NU justru terjerembab dalam kubangan orientasi politik materialistis dan lalai pada politik kerakyatan. Bahkan, pada periode ini NU dituduh sebagai oportunis dan akomodasionis yang menjadi perode terburuk dalam sejarah NU. Maka dari itu, NU memutuskan kembali ke Khiththah NU pada Muktamar Situbondo 1984. [34] Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan NU menjadi partai politik adalah untuk menjalankan politik kenegaraan dan kemasyarakatan untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Namun, perjalanan politik NU tidak mulus yang mengharuskan NU menegaskan kembali sebagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan yang dituangkan dalam Khiththah NU. Khiththah NU pun juga tidak mengatur aspirasi politik NU, membebaskan warga NU untuk menyalurkan aspirasi politik kepada partai pilihannya masing-masing. Khiththah NU ini juga bertujuan menjauhkan para pengurus NU untuk terlibat politik praktis dengan membawa-bawa nama organisasi NU. Sebenarnya, Khiththah NU tidak hanya berisi aturan politik warga NU, tetapi juga berisi mengenai penegasan identitas NU sebagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan dengan mengamalkan prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jama‘ah. [35]
Dengan demikian, salah besar jika dikatakan bahwa Khiththah NU itu cara NU menggembosi PPP. Terbukti, pasca Khiththah NU, masih banyak orang-orang NU yang memperkuat NU, sebut saja Hamzah Haz (Ketua Umum DPP PPP 1998— 2007) dan Suryadharma Ali (Ketua Umum DPP PPP 2007—2014). Justru NU yang menjadi korban PPP, terbukti Ketua Umum DPP PPP 1978—1989, Dr. H. Jailani Naro, menghapus tokoh-tokoh penting NU dari daftar calon anggota DPR untuk Pemilu 1982. [36] Mengenai pendirian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) oleh NU pada 23 Juli 1998, KH. Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU 1999—2004 dan 2005—2010) menjelaskan mengenai hubungan PKB dan Khiththah NU dan alasan KH. Abdurrahman Wahid menjadi salah satu inisiator PKB. KH. Hasyim Muzadi menjelaskan, "Yang kita khiththahkan itu adalah NU sebagai jama‘ah dan jam‘iyyah. Ini harus menempati posisi khiththah yang hubungannya itu bukan NU—partai, tetapi NU—bangsa. Tetapi, sistem di reformasi itu akan bertumpu pada partai politik. Nah, kalau NU tidak mempunyai partai politik, maka aspirasinya tidak akan dapat disalurkan berikut mindset politiknya. Lha terus bagaimana hubungannya dnegan khiththah? Kita pisah. Karena ketika itu orang NU sebagai komunitas, bisa digerakkan. Maka PKB dapat besar. Ketika PKB dapat besar, anak-anak kita banyak yang menjadi DPR, DPRD, ada yang jadi menteri, bahkan Gus Dur sendiri jadi presiden."[37] Meskipun NU melahirkan PKB, NU tetap menjalankan Khiththah NU, yaitu menegaskan identitas NU sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan serta tidak memaksakan aspirasi politik warga NU untuk memilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ini bukti bahwa NU tidak pernah membuang Khiththah NU seperti yang dituduhkan oleh Muhammad Karyono. Selain itu, memahami NU ketika menjadi partai politik, NU ketika kembali ke Khiththah 1926, dan NU ketika membidani berdirinya PKB, harus secara proporsional. NU ketika menjadi partai politik melibatkan pengurus NU untuk terjun langsung ke dalam praktek politik praktis yang banyak merugikan. Misalkan, Ketua Umum PBNU 1956—1984, KH Idham Chalid menjabat juga sebagai Ketua Umum Partai NU dan menjabat sebagai Ketua DPR/ MPR tahun 1971—1977, Wakil Perdana Menteri II dalam Kabinet Ali Sastroamidjoyo (1956—1957), Wakil Perdana Menteri II dalam Kabinet Djuanda (1957—1959), Wakil Ketua MPRS 1959—1966, Menteri Kesejahteraan Rakyat (1967-1973), dan Menteri Sosial (ad-interim) tahun 1970—1971. Ketika NU menjadi partai politik, setiap pengurus PBNU secara otomatis juga menjadi pengurus partai politik NU. Jabatan politik tersebut membuat NU tidak lagi fokus pada khiththahnya, yaitu organisasi kemasyarakatan dan keagamaan. Maka dari itu, NU memutuskan kembali ke Khiththah 1926 yang dicetuskan dalam Muktamar NU di Situbondo tahun 1984 Oleh KH. Achmad Shiddiq. Lalu, pada reformasi NU membidani kelahiran PKB. Hal ini bukan berarti NU membuang khiththah dan kondisinya jelas sama sekali berbeda ketika NU menjadi partai politik. Ketika NU menjadi partai politik, NU terjun langsung dalam partai NU. Namun, ketika NU membidani PKB, NU hanya menyediakan partai politik tanpa terjun langsung ke PKB. Buktinya, NU memberlakukan larangan rangkap jabatan (melarang pengurus NU merangkap jabatan politik). Bukti lain, NU tidak menggiring dan mengharuskan warganya untuk menyalurkan aspirasi politik ke PKB. Hal ini bukti bahwa meskipun NU membidani lahirnya PKB, NU tetap berpegang teguh pada Khiththah NU 1926. Wujud lain NU masih memegang Khiththah NU adalah ketika Syuriyah PBNU mengeluarkan qarar (ketetapan) untuk menonaktifkan sementara KH. Hasyim Muzadi (yang saat itu menjabat Ketua Umum PBNU dan maju mencalonkan diri menjadi Calon Wakil Presiden berpasangan dengan Megawati Soekarnoputri dalam Pemilu 2004) dan KH. Shalahuddin Wahid. Selain itu, qarar juga berupa himbauan kepada jama‘ah NU agar menyikapi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2004 dengan bijak. Qarar ini merupakan hasil rapat Syuriyah di Rembang Jawa Tengah 16 Mei 2004 yang dipimpin oleh Rais ‗Amm PBNU KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh. [38]
Catatan Kaki:
[26] Dalil tawasul dapat dibaca di buku karya KH.
Siradjuddin Abas, 40 Masalah Agama Jilid 1, (Jakarta : Penerbit Pustaka
Tarbiyah, 2000), halaman 149 yang menjelaskan tentang hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah bahwa Bilal ibn Harits bertawasul di
makam Nabi Muhammad SAW, halaman 152—154 tentang pendapat Syaikh Zaini Dahlan
yang berpendapat bertawasul dengan orang hidup dan meninggal adalah tidak ada
perbedaannya, yaitu boleh, karena pada hakekatnya tawasul itu tetap memohon
kepada Allah SWT; Al Habib Zainul Abidin Al-Alawy, Jawaban Praktis Aqidah
Ahlussunnah wal Jama’ah, (Tuban : LTN Kesan, 2008), halaman 68—85 yang
menjelaskan dalil tentang bolehnya tawasul dengan orang meninggal, misalkan
Q.S. An Nisa ayat 54 dan beberapa hadits misalkan hadits Nabi Muhammad
bertawasul kepada nabi-nabi sebelum beliau (jelas sudah wafat) ketika mendoakan
ibunda Ali ibn Abu Thalib yang wafat dalam kitab Al Ma’rifah oleh Abu Nu’aim
yang haditsnya telah ditakhrij oleh At-Thabrani dan Ibnu Majah; Q.S. Al Baqarah
ayat 154 dan Q.S. Ali Imran ayat 169 yang menjelaskan bahwa sebenarnya orang
yang meninggal di jalan Allah SWT (nabi, rasul, wali) itu sebenarnya mereka
tetap hidup; Muhyiddin Abdusshomad, Fiqh Tradisionalis : Jawaban Pelbagai
Persoalan Keagamaan Sehari-Hari, (Surabaya : Penerbit Khalista, 2008), halaman
263—270; Tim FBMPP Kediri, Meluruskan Kesalahan Buku Putih Kyai NU, (Surabaya :
Bina Aswaja, 2011), halaman 118—124 yang menjelaskan tentang macam tawasul,
termasuk tawasul kepada orang yang sudah meninggal; Muhammad Idrus Ramli dan
Muhammad Syafiq Alydrus, Kiai NU atau Wahhabi Yang Sesat Tanpa Sadar, (Surabaya
: Bina Aswaja, 2011), halaman 49—54 yang menjelaskan tentang kekuatan hadits
Bilal bin Harits bertawasul kepada Nabi Muhammad SAW yang sudah wafat di makam
Nabi Muhammad SAW, yaitu shahih menurut al-Hafidh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah
wa al-Nihayah (VII/ 101), dan al-Hafidh ibnu Hajar dalam Fath al-Bari (II/
495).
[27] Dalil
Maulid Nabi dapat dibaca pada laman di bawah ini : https://www.facebook.com/ahmad.saifuddin.5011/posts/788900024457306?.
Selain itu, dalil lain pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad SAW dapat dibaca di
buku KH. Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama Jilid Dua, (Jakarta : Penerbit
Pustaka Tarbiyah, 2000), halaman 176—190. Dasar-dasar maulid Nabi diantaranya Q.S. Yunus : 5, hadits
Shahîh Muslim [1977] Diriwayatkan dari Abû Qatâdah al-Anshârî RA,
bahwa Rasulullâh pernah ditanya tentang puasa Senin. Maka beliau menjawab,
“Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku”, Sayyid Muhammad
‘Alawî al-Mâlikî mengatakan, “Pada pokoknya berkumpul mengadakan Maulid Nabi
Muhammad SAW merupakan sesuatu yang sudah lumrah terjadi. Tetapi hal itu
termasuk kebiasaan yang baik yang mengandung banyak kegunaan dan manfaat yang
(akhirnya) kembali kepada umat Islam sendiri dengan beberapa keutamaan (di
dalamnya). Sebab kebiasaan seperti itu
memang dianjurkan oleh syara’ secara parsial.” (Mafâhîm Yajib an Tushahhah,
halaman 224—226); Ibnu Taimiyyah berkata, “Orang-orang yang melaksanakan
perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW akan diberi pahala. Demikian pula yang
dilakukan oleh sebagian orang, adakalanya bertujuan meniru di kalangan Nasrani
yang memperingati kelahiran Nabi Isa AS, dan adakalanya juga dilakukan sebagai
ekspresi rasa cinta dan penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Allah SWT akan
memberi pahala kepada mereka atas kecintaan mereka kepada Nabi mereka, bukan
dosa atas bid’ah yang mereka lakukan.” (Manhaj a-Salaf fi Fahm al-Nushûsh Bayn
al-Nazhariyyah wal al-Tathbîq, halaman 399); Mari kita lihat
pendapat Al-Imam Hasan Al-Bashri R.a terhadap peringatan Maulid Nabi Muhammad
S.A.W. dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa beliau Al-Imam Hasan Al-Bashri R.A
berkata : Andaikata aku memiliki emas sebesar bukit Uhud, maka akan kudermakan
semuanya untuk penyelenggaraan pembacaan maulid Rasul. (Lihat kitab Abu-Bakar bin Muhammad Syatha
Ad-Dimyathi, I’anathuth Thalibin, Darul Fikr, Juz.3, Hal. 255.). Barang siapa
mendatangi sebuah tempat dimana disana dibacakan Maulid Nabi (sejarah Nabi
Muhammad S.A.W), maka dia telah mendatangi sebuah taman surga. Sebab tujuannya
mendatangi itu tidak lain adalah untuk mengungkapkan rasa cinta kepada
Rasulullah S.A.W, sedangkan Rasulullah S.A.W bersabda : Barangsiapa
mencintaiku, maka dia besamaku di surga. (Lihat kitab Abu Bakar bin Muhammad
Syatha Ad-Dimyathi, I’anathuth Thalibin, Darul Fikr, Juz.3,Hal.255.)
[28] Silakan kunjungi laman berikut ini :https://www.facebook.com/notes/ahmed-seif-al-din/seputar-tahlilan-dan-sampainya-pahala-sedekah-kepada-mayyit-oleh-ahmad-saifuddin/870557812999046
dan https://www.facebook.com/notes/ahmed-seif-al-din/seputar-tahlilan-dan-sampainya-pahala-sedekah-kepada-mayyit-oleh-ahmad-saifuddin/870555836332577.
Dalil Tahlilan dapat dibaca pada buku karya Muhammad Idrus Ramli, Membedah Bid’ah dan
Tradisi dalam Perspektif Ahli Hadits dan Ulama Salafi, (Surabaya : Khalista,
2010), halaman 58—64; KH. Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama Jilid Satu,
(Jakarta : Penerbit Pustaka Tarbiyah, 2000), halaman 192—222; Muhammad Idrus
Ramli. Benarkah Tahlilan dan Kenduri Haram?. (Surabaya : Khalista, 2011); Abiza
el-Rinaldi. Haramkah Tahlilan, Yasinan, dan Kenduri Arwah? (Klaten : Pustaka
Wasilah, 2012); KH. Muhyidin Abdusshomah. Tahlilan dalam Perspektif Al-Quran
dan Sunnah (Kajian Kitab Kuning). (Surabaya : Khalista, 2008), Al Habib Zainul Abidin Al Alawy Al Husaini. Jawaban Praktis
Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah. (Tuban
: LTN Kesan, 2008). Dalam tahlilan terdapat beberapa hal, misalkan dzikir
berjama’ah, kirim pahala, peringatan kematian, yang kesemuanya memiliki dalil
kuat. Dzikir berjama’ah dianggap oleh Allah SWT sebagai taman surga. Beberapa
dalil peringatan kematian sudah dijelaskan di atas. Sedangkan beberapa dalil
kirim pahala adalah sebagai berikut :
”Dari Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari datuknya,
sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda, ”Tidak ada apa atas salah seorang
diantara kamu apabila bermaksud sedekah dengan sedekah sunnah untuk diberikan
(pahalanya) kepada kedua orang tuanya. Apabila keduanya muslim, maka pahalanya
sampai kepada mereka dan ia (yang bersedekah) mendapat pahala seperti pahala
yang dihadiahkan kepada orang tuanya tanpa mengurangi sedikitpun pahala yang
diberikan kepada kedua orang tuanya itu.” (Diterangkan oleh Syaikh Muhammad ibn
Muhammad al-Munyahi al-Hanbali dalam kitabnya yang berjudul Tashliyatu Ahli
al-Mashaib).
”Dari ’Aisyah R.A. sesungguhnya seorang laki-laki
berkata kepada Nabi Muhammad SAW : ”Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia,
dan saya yakin jika ia masih hidup pasti bersedekah. Apakah ia dapat memperoleh
pahala, jika saya bersedekah atas anamnya?” Nabi Muhammad SAW menjawab : ”Ya,
tentu mendapat pahala.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
ayat Al Quran yang berbunyi ”Wa An Laysa Lil
Insaani illaa Maa Sa’aa” (dan sesungguhnya setiap orang tidak memperoleh selain
apa yang telah diusahakannya) dan hadits nabi ”Idzaa Maata ibnu Aadama In
Qatha’a ’Amaluhu” (apabila manusia meninggal, maka amalnya terputus) telah
dijelaskan oleh Imam Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya ar-Ruh berkata :
Sesungguhnya ayat Al Quran tersebut tidak menafikan keberadaan manfaat yang
diperoleh seseorang sebab usaha orang lain. Ayat tersebut menjelaskan bahwa
seseorang tidak memiliki selain usahanya sendiri. Adapun amal usaha selainnya,
termasuk milik orang yang beramal usaha itu sendiri. Allah SWT tidak berfirman
: Sesungguhnya seseorang tidak dapat mengambil manfaat kecuali dengan usahanya
sendiri. Adapun mengenai hadits Nabi Muhammad SAW ”Idzaa Maata ibnu Aadama In
Qatha’a ’Amaluhu” (apabila manusia meninggal, maka amalnya terputus) maka
semakin jelas bahwa beliau bersabda ”In Qatha’a ’Amaluhu” (amalnya terputus),
beliau tidak bersabda ”In Qatha’a In Tifaa’uhu” (terputus dalam mengambil
manfaat). Beliau memberitakan tentang terputusnya amal orang yang telah meninggal
dunia. Adapun mengenai amal orang lain, maka pahala itu
milik pelakunya. Apabila amal itu dihadiahkan kepada orang lain yang telah
meninggal dunia, maka pahalanya sampai kepada orang tersebut bukan pahala amal
orang yang telah meninggal itu, yang terputus adalah amal si mayyit itu, dan
yang sampai adalah amal orang lain yang masih hidup yang pahalanya diniatkan
untuk orang yang telah meninggal. Harap dicermati. Selain itu, Ibnu Hazm dalam
Hukm al-Syari’ah al-Islamiyah fi Ma’tam al-Arba’in, halaman 43 menjelaskan
bahwa hadits itu hanya menjelaskan terputusnya amal orang yang telah meninggal
dunia, namun sama sekali tidak menjelaskan terputusnya amal orang lain yang
dihadiahkan kepadanya serta tidak juga melarang hal tersebut.
Ulama ahli tafsir menerangkan dari Ibnu Abbas R.A. :
Sesungguhnya firman Allah SWT ”Wa An Laysa Lil Insaani illaa Maa Sa’aa” (dan
sesungguhnya setiap orang tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya)
dalam syari’at ini hukumnya telah dihapus (mansukh) dengan firman Allah SWT
dalam Q.S. Ath-Thur ayat 21 : ”dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu
mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan
mereka.” Dari ayat ini telah jelas bahwa Allah SWT memasukkan anak cucu ke
surga sebab kebaikan bapak-bapak mereka. ’Ikrimah mengatakan bahwasanya setiap
orang tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya adalah untuk kaum Nabi Musa A.S.
Selain itu, mengenai argumentasi tasyabbuh, sudah dijelaskan dalam
footnote sebelumnya, mengenai hadits aqiqah, ruqyah, dan puasa Asyura. Lihat
juga Muhyiddin Abdusshomad, Fiqh Tradisionalis, (Surabaya : Khalista, 2008),
halaman 224—238, yang menjelaskan dalil keabsahan tahlilan, peringatan
kematian, bersedekah untuk mayyit, menentukan bilangan tertentu untuk
melaksanakan tahlilan.
[29] Tim
Bahtsul Masail PCNU Jember, Membongkar Kebohongan Buku Mantan Kiai NU Menggugat
Shalawat dan Dzikir Syirik Mahrus Ali, (Surabaya : Khalista, 2008), halaman
246—247.
[30] Asy-Syaikh
Abdullah al-Harari, Tabyin Dhalalat al-Albani Syaikh al-Wahhabiyah
al-Mutahaddits, cetakan 3, Beirut : Syirkah Dar al-Masyari’ li ath-Thiba’ah wa
an-Nasyr wa at-Tauzi’, tahun 1428 Hijriyah/ 2007 Masehi, halaman 6. Lihat juga
buku Syaikh Idahram, Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi, (Yogyakarta, Pustaka
Pesantren, 2011), halaman 133—198.
[31] Lihat
DR. Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram , (Jakarta: Robbani Press, 2000), hal. 417.
[30] Asy-Syaikh Abdullah al-Harari, Tabyin Dhalalat al-Albani Syaikh
al-Wahhabiyah al-Mutahaddits, cetakan 3, Beirut : Syirkah Dar al-Masyari‘ li
ath-Thiba‘ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi‘, tahun 1428 Hijriyah/ 2007 Masehi,
halaman 6. Lihat juga buku Syaikh Idahram, Ulama Sejagad Menggugat Salafi
Wahabi, (Yogyakarta, Pustaka Pesantren, 2011), halaman 133—198.
[31] Lihat DR. Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram , (Jakarta: Robbani Press, 2000), hal. 417.
[31] Lihat DR. Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram , (Jakarta: Robbani Press, 2000), hal. 417.
[32] Dinamika antara Nahdlatul ‗Ulama dan Partai Komunis Indonesia
secara detail dijelaskan pada buku karya H. Abdul Mun‘im DZ, Benturan NU – PKI
1948 – 1965, (Jakarta : Pengurus Besar Nahdlatul ‗Ulama, 2014). Pada buku
tersebut dijelaskan eskalasi politik Indonesia, termasuk berkembangnya komunis
dalam wajah PKI, pembantaian yang dilakukan oleh komunis Indonesia di Madiun,
aksi pemanasan dan provokasi poliik oleh PKI pada 1950—1954, meletusnya
peristiwa G30S/ PKI pada 1965, serta sikap NU terhadap propaganda PKI saat ini.
Selain itu, disertakan juga lampiran Surat Instruksi Pucuk Pimpinan Gerakan
Pemuda Ansor Nomor 1st/02/PP/1965 yang berisikan instruksi kepada seluruh
anggota, kader, dan pimpinan GP Ansor untuk mempertinggi kewaspadaan terhadap
gerakan komunis PKI, membantu pihak ABRI dalam memulihkan keamanan dan menjaga
keutuhan bangsa. Di sisi lain, PBNU juga mengeluarkan pernyataan bahwa PBNU
mencela secara keras atas tindakan Gerakan 30 September dan menolak serta
menentang pembentukan ―Dewan Revolusi‖. PBNU beserta seluruh badan otonomnya
(PP GP Ansor, PB PMII, PP Sarbumusi, PP Pertanu, PP Muslimat NU, PP Lesbumi, PP
Sernemi) juga mengeluarkan ―Resolusi Mengutuk GESTAPU‖ dengan isi meminta
Presiden Republik Indonesia membubarkan PKI, membredel semua media massa PKI,
dan menghimbau seluruh umat Islam dan kekuatan revolusioner lainnya mengimpun
kekuatan untuk membantu ABRI dalam menertibkan dan mengembalikan stabilitas
nasional dari kekuatan komunis.
[33] Lihat Ensiklopedia Nahdlatul ‗Ulama : Sejarah, Tokoh, dan Khazanah
Pesantren Jilid Tiga, (Jakarta : Matabangsa, 2014), halaman 156—157.
[34] Syafiq Hasyim, Tiga Jenis Politik di NU, dalam Nahdlatul Ulama :
Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan, (Jakarta : Kompas, 2010), halaman
3—7.
[35] Khiththah Nahdlatul 'Ulama diterbitkan oleh Lajnah Ta‘lif wa Nasyr
PBNU Jakarta 17 Shafar 1406 Hijriyah/ 01 November 1985. Khiththah Nahdlatul
'Ulama juga dapat dibaca pada buku karya KH. A. Busyairi Harits, M.Ag., Islam
NU, Pengawal Tradisi Sunni Indonesia, (Surabaya : Penerbit Khalista, 2010),
halaman 112—139; Ensiklopedia Nahdlatul ‗Ulama : Sejarah, Tokoh, dan Khazanah
Pesantren Jilid Tiga, (Jakarta : Matabangsa, 2014), halaman 221—231. Sedangkan
Pedoman Berpolitik Nahdlatul 'Ulama dapat dilihat pada Ensiklopedia Nahdlatul
'Ulama : Sejarah, Tokoh, dan Khazanah Pesantren Jilid Tiga, (Jakarta :
Matabangsa, 2014), halaman 232—234. Pedoman berpolitik tersebut berisi
berpolitik bagi NU adalah mengandung arti keterlibatan warga negara dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai Pancasila dan UUD
1945, politik yang berwawasan kebangsaan dan menju integrasi bangsa,
pengembangan nilai kemerdeaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan
bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggung jawab untuk mencapai
kemaslahatan bangsa, berpolitik sesuai dengan moral etika, dilakukan dengan
jujur dan adil dan dengan musyawarah mufakat, tidak boleh dilakukan dengan
mengorbankan kepentingan bersama, serta menuntut adanya komunikasi
kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional.
[36] Ensiklopedia Nahdlatul ‗Ulama : Sejarah, Tokoh, dan Khazanah
Pesantren Jilid Tiga, (Jakarta : Matabangsa, 2014), halaman 217.
[37] Diambil dari cuplikan Film Dokumenter berjudul ―Nahdlatul Ulama dan
Sejarah Kebangsaan‖.
[38] Ensiklopedia Nahdlatul ‗Ulama : Sejarah, Tokoh, dan Khazanah
Pesantren Jilid Empat, (Jakarta : Matabangsa, 2014), halaman 18—20.
Sumber MMN: http://www.muslimedianews.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar