Senin, 21 Maret 2016

Meluruskan Artikel “Mengapa Ulama Aswaja NU Begitu Takut Dengan Wahabi”



Oleh : Ahmad Saifuddin *

Saya merasa geli membaca sebuah tulisan yang ditulis oleh Muhammad Karyono dengan judul ―Mengapa Ulama Aswaja NU Begitu Takut Dengan Wahabi‖ dan dimuat dalam kompasiana dengan alamat situs http://www.kompasiana.com/muhamadkaryono/mengapa-kyai-aswaja-nu-begitu-takut-dengan-wahabi_5529eb08f17e611a3bd623a6, dan diposting ulang dengan alamat http://www.kumpulankonsultasi.com/2015/06/mengapa-kyai-aswaja-nu-begitu-takut-terhadap-dakwah-salafi-wahabi.html?m=1. Ya, merasa geli karena ditulis tanpa data valid, berdasarkan prasangka sehingga penuh dengan subyektifitas. Semakin geli lagi, tulisan itu dianggap sebagai pencerahan atas dinamika Islam di dunia dan di Indonesia yang pantas untuk diapresiasi.
 
Pada tulisan ini, saya kemukakan beberapa subyektifitas penulis. Semoga tulisan ini mampu memberikan sudut pandang berbeda yang lebih obyektif. Kalaupun dianggap masih subyektif, setidaknya saya berusaha untuk memakai referensi yang jelas dan bukan berdasarkan prasangka. Semoga Allah SWT meridlai.

1. Perlu ditegaskan, makna aswaja dalam term kaum tradisionalis bukanlah satu pengamalan beragama yang meneladani Rasulullah SAW dan para sahabatnya dalam akidah maupun ibadah sebagaimana definisi Ahlus Sunnah wal Jama‘ah sebenarnya, melainkan satu model baru keislaman yang memadukan berbagai unsur semisal mazhab ilmu kalam Asya‘irah, tasawuf, dan ritual-ritual amaliah yang berasal dari warisan kultur Hindu-Budha. Maka tak heran, berkembangnya dakwah salafi dari Aceh hingga Papua mendatangkan kegelisahan dari kalangan tokoh aswaja NU yang selama ini terlanjur menikmati kedudukan begitu tinggi di tengah-tengah masyarakat 'santri‘.

BANTAHAN :
 
Muhammad Karyono mengemukakan bahwa makna Ahlussunnah wal Jama‘ah yang dianut oleh kaum tradisionalis pesantren (lebih khusus lagi adalah Nahdlatul ‗Ulama) tidak didasarkan atas proses meneladani Rasulullah SAW, namun menganut madzhab Al-Asy‘ariyah, tasawuf, dan ritual amaliah berdasarkan Hindu dan Budha. Statement tersebut memberikan kesan bahwa Asy‘ariyah dan tasawuf tidak meneladani Nabi Muhammad SAW. Statement ini jelas sangat subjektif dan tidak berdasar. Term Ahlussunnah wal Jama‘ah muncul setelah sekian tahun wafatnya Rasulullah SAW. Meskipun demikian, term Ahlussunnah wal Jama‘ah ini sudah disiratkan oleh Rasulullah SAW dalam beberapa hadits yang menyatakan perpecahan umat Islam ke dalam 73 golongan. 72 golongan akan masuk neraka, sedangkan satu golongan selamat masuk surga, yaitu golongan yang disebut al-jama‘ah. Dari Mu‘awiyah bin Abu Sufyan, Rasulullah SAW bersabda sesungguhnya orang sebelum kamu dari pengikut Ahli Kitab terpecah belah menjadi 72 golongan. Dan umat ini (Islam) akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 golongan akan masuk ke neraka, dan satu golongan yang akan masuk surga, yaitu al-jama‘ah. [1]

Nahdlatul 'Ulama, sebuah organisasi Islam yang berdiri pada 16 Rajab 1344 Hijriyah atau 31 Januari 1926, mengklaim bahwa organisasi NU berdasarkan Ahlussunnah wal Jama‘ah. Klaim tersebut diikuti dengan membuat kategori dan koridor Ahlussunnah wal Jama‘ah, yaitu mengikuti Rasulullah SAW melalui Imam Abu Hasan al-Asy‘ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi dalam bidang teologi, Empat Imam Madzhab (Imam Abu Hanifah an-Nu‘man, Imam Malik Ibn Anas, Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi‘i, dan Imam Ahmad Ibn Hanbal) dalam bidang fiqh, dan Imam Abu Hamid al-Ghazali serta Imam Junaid al-Baghdadi dalam bidang Tasawuf. Koridor ini diperlukan sebagai penegasan dan batasan pendapat siapa saja yang diikuti oleh al-jama‘ah (kalangan mayoritas-sawadul a‘dham) dan dalam batas kebenaran.

Lalu, apakah al-Asy‘ariyah bukan termasuk Ahlussunnah wal Jama‘ah karena dalam tulisan "Mengapa Kyai Aswaja NU Begitu Takut dengan Wahabi" dituliskan bahwa "Makna aswaja dalam term kaum tradisionalis bukanlah satu pengamalan beragama yang meneladani Rasulullah SAW dan para sahabatnya dalam akidah maupun ibadah sebagaimana definisi Ahlus Sunnah wal Jama‘ah sebenarnya, melainkan satu model baru keislaman yang memadukan berbagai unsur semisal mazhab ilmu kalam Asya‘irah, tasawuf, dan ritual-ritual amaliah yang berasal dari warisan kultur Hindu-Budha"? Ada beberapa alasan mengapa al-Asy‘ariyah adalah Ahlussunnah wal Jama‘ah. Al-Imam al-Hafidh al-Zabidi menjelaskan bahwa apabila Ahlussunnah wal Jama‘ah disebutkan maka yang dimaksudkan adalah pengikut al-Asy‘ariyah dan al-Maturidiyah. [2] Alasan lain bahwa Al-Asy‘ariyah termasuk dalam Ahlussunnah wal Jama‘ah [3] adalah pertama, mengikuti mainstream al-jama‘ah seperti hadits yang sudah dijelaskan di atas; kedua, mengikuti ajaran Nabi dan sahabat [4]; ketiga, pengayom dan rujukan umat dalam urusan agama [5]; keempat, golongan yang mendapatkan hidayah; kelima, memiliki keutamaan yang disebutkan oleh Nabi Muhammad SAW [6]. Sehingga, pernyataan bahwa Aswaja khas NU tidak meneladani Nabi Muhammad SAW dan hanya meneladani al-Asy‘ariyah jelas salah karena al-Asy‘ariyah jelas-jelas meneladani Nabi Muhammad SAW.

Selain itu, jika tasawuf dianggap sebagai bukan ajaran Nabi, hal tersebut adalah salah besar. KH. Siradjuddin Abas menukil pendapat Ahmad Amin pengarang kitab Dzuhrul Islam mengenai hakekat tasawuf menurut Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun mengatakan bahwa asal pokok dari ajaran tasawuf adalah tekun beribadah, berhubungan langsung kepada Allah SWT, menjauhkan diri dari kemewahan dan kemegahan duniawi, tidak suka pada harta dan tuah yang diburu orang banyak, dan bersunyi-sunyi diri dalam melaksanakan ibadah kepada Allah SWT. Hal ini dilaksanakan oleh para sahabat Nabi SAW dan orang-orang Salaf, tetapi kemudian pada kurun kedua Hijriyah, setelah orang saling berebut mengejar dunia, dan orang sudah enak-enak dalam masyarakat keduniaan, maka orang-orang yang tetap tekun beribadah sebagai sediakala dinamai dengan ―orang-orang tasawuf". [7] Dengan demikian, tasawuf pun sebenarnya meneladani Nabi Muhammad SAW, sehingga mengamalkan tasawuf berarti mengamalkan ajaran Nabi Muhammad SAW.

Mengenai warisan kultur Hindu dan Budha, hal itu juga salah besar. KH. Siradjuddin Abas menjelaskan bahwa pelajaran ahli sufi (tasawuf) berpegang pada Al Qur‘an dan Sunnah. Kemungkinan yang ada hanya ―bersamaan‖, bukan ―penukaran ajaran" atau "warisan". Sebab, cara-cara ibadah dalam Islam ada yang hampir mirip dengan cara-cara agama Budha, misalkan Islam dan Budha sama-sama memiliki ihram, hanya saja ihram agama Budha berwarna kuning dan ihram agama Islam berwarna putih. [8] Selain itu, ulama Aswaja NU tidak serta merta menyerap tradisi dan budaya. Prinsip al-muhafadhah 'alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah yang diusung oleh ulama Aswaja NU memungkinkan ulama Aswaja NU mengadakan akulturasi budaya. Akulturasi budaya dengan agama ini memungkinkan perubahan esensi budaya tanpa mengubah bentuk dan mekanisme ritualnya, yang dari awalnya Hindu Budha menjadi peribadatan Islam. Budaya yang bertentangan tetap tidak dipakai, kemudian diubah menjadi suatu ritual yang agamis dan bermanfaat.

Mengikuti budaya pun juga sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Misalkan tulisan Imam Ibn Muflih al-Hanbali dalam al-Adab al-Syar‘iyyah juz 2 halaman 47, Imam Ibnu Aqil berkata dalam kitab al-Funun, "Tidak baik keluar dari tradisi masyarakat, kecuali tradisi yang haram, karenaa Rasulullah SAW telah membiarkan Ka‘bah dan berkata, "Seandainya kaummu tidak baru saja ameninggalkan masa-masa jahiliyah......" Sayyidina Umar berkata, ―Seandainya orang-orang tidak akan berkata Umar menambah Al Qur‘an, aku akan menulis ayat rajam di dalamnya." Imam Ahmad ibn Hanbal meninggalkan dua raka‘at sebelum Maghrib karena masyarakat mengingkarinya. Dalam Kitab Al-Fushul disebutkan tentang dua raka‘at sebelum Maghrib bahwa Imam kami Imam Ahmad ibn Hanbal pada awalnya melakukannya, namun kemudian meninggalkannya dan beliau berkata, ―Aku melihat orang-orang tidak mengetahuinya." Ahmad ibn Hanbal juga memakruhkan melakukan qadla‘ shalat di musholla pada waktu dilaksanakan shalat Id (hari raya). Beliau berkata, "Saya khawatir orang-orang yang melihatnya akan ikut-ikutan melakukannya". [9] Selain itu, akulturasi yang dilakukan oleh para ulama Aswaja (misalkan tahlilan dan peringatan kematian) sudah tidak lagi mengandung budaya Hindu dan Budha meskipun pada awalnya ada beberapa kelompok yang mengatakan bahwa tradisi tersebut adalah tradisi Hindu dan Budha. Bahkan, peringatan kematian menjadi ritual mendoakan mayit, bukan lagi ritual sesajen dan maksiat. Di sisi lain, ternyata sedekah untuk mayit di hari-hari tertentu pun juga ada dalilnya, misalkan dalam al-Hawi li al-Fatawi juz 2 halaman 178 dijelaskan Imam Ahmad ibn Hanbal berkata, meriwayatkan kepada kami Hasyim ibn al-Qasim, ia berkata : "meriwayatkan kepada kami al-Asyja‘i dari Sufyan, yang berkata, "Imam Thawus berkata, "Orang yang meninggal diuji selama tujuh hari di dalam kubur mereka, maka kemudian kalangan Salaf mensunnahkan bersedekah makanan yang pahalanya untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari itu. [10]

Menentukan ritual pada hari-hari tertentu (misalkan peringatan kematian hari ketujuh, keseratus, keseribu yang disangkakan berasal dari ajaran Hindu dan Budha), ternyata juga mendapat legitimasi dari Islam, seperti penjelasan al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari juz 3 halaman 69 yang menjelaskan hadits Nabi Muhammad SAW setiap hari Sabtu mengunjungi Masjid Quba, bahwa hadits tersebut menunjukkan diperbolehkannya menentukan sebagian hari-hari tertentu untuk melakukan sebuah amal shalih dan dilakukan secara terus menerus. [11] Sehingga, prasangka bahwa ritual ulama tradisionalis Aswaja NU berakar dari Hindu dan Budha adalah salah, karena sudah mengalami akulturasi sehingga esensinya adalah 100% ritual agama Islam (seperti berdoa, bersedekah, kirim pahala [12]) dan ternyata juga mendapatkan legitimasi dari Islam juga. Tasyabbuh pun juga dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, misalkan mengenai aqiqah13, puasa 'Asyura, [14[ dan ruqyah [15].

Selain itu, menurut Tosari Wijaya (Duta Besar Indonesia untuk Maroko yang juga Mantan Ketua Umum PP IPNU) mengatakan bahwa pendudukan Maroko 99% beragama Islam dan sama sekali belum tersentuh agama Hindu dan Budha. Namun, di Maroko juga ada acara peringatan kematian dan tahlilan. Sehingga, peringatan kematian sebenarnya bukan murni dari agama Hindu dan Budha.
2. Kemenangan Abdul Aziz Al-Saud yang disebut berhaluan Wahabi atas Syarif Husein yang berpaham sufi merupakan pukulan telak bagi kalangan tradisionalis di manapun termasuk di wilayah Hindia-Belanda. Sebab, dengan jatuhnya Makkah ke tangan Wahabi, sama artinya dengan hilangnya kemerdekaan bagi kaum sufi-tradisionalis untuk menjalankan praktek amalan-amalan khas quburiyun di tanah suci.

BANTAHAN :



Ketika Khilafah Turki Utsmani runtuh pada tahun 1923, ada tiga pihak yang memiliki ambisi meneruskan tradisi Khilafah Islamiyah, yaitu Syarif Husain (Hijaz yang berpaham Ahlussunnah wal Jama‘ah), Abdul Aziz al-Saud (Najd yang berpaham Wahhabi), dan Raja Fuad (Mesir). [16] Raja Fuad mempersiapkan Muktamar Dunia Islam yang rencananya dihadiri oleh perwakilan umat Islam seluruh dunia untuk memperbincangkan khilafah islamiyyah. Tercatat, Muhammad Rasyid Ridla seorang tokoh Islam modernis dan murid dari Muhammad Abduh menjadi panitia, sudah mengirimkan undangan kepada Muhammadiyah dan Syarikat Islam pada tahun 1925. [17] Namun, upaya Raja Fuad gagal karena perdana menterinya yang bernama Sa‘ad Zaghlul Pasha mengundurkan diri sehingga Mesir harus memfokuskan diri kepada pemilu daripada Muktamar untuk membahas khilafah Islamiyah. Selain itu, konstelasi politik di Hijaz serta perlunya mengirimkan delegasi ke beberapa negara undangan untuk mensosialisasikan Muktamar Dunia Islam menjadi faktor lain Raja Fuad gagal menyelenggarakan Muktamar Dunia Islam. [18] Syarif Husain pun juga gagal dalam menggantikan Khilafah Islamiyyah karena telah diserang oleh Abdul Aziz al-Saud yang merupakan penerus dari Muhammad ibn Saud dan berpaham Wahhabi. Sehingga, akhirnya hanya Abdul Aziz al-Saud yang berhasil akan menggantikan Khilafah Islamiyyah. Selanjutnya, Abdul Aziz al-Saud kembali meneruskan perjuangan pendahulunya dalam menyebarkan paham Wahhabi, dengan mengadakan kontrol kuat terhadap praktek-praktek keagamaan ala Ahlussunnah wal Jama‘ah, melarang ziarah kubur, mempersulit praktek mengajar ulama-ulama pendatang (yang sebagian besar menganut Ahlussunnah wal Jama‘ah, seperti Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Mahfudh al-Turmusy, Syaikh Khatim al-Minangkabawi) dan menghancurkan situs-situs sejarah. Azyumardi Azra mengilustrasikan bahwa Wahhabisme yang didukung oleh penguasa telah menjelma menjadi gerakan Islam radikal yang cenderung pada kekerasan. Dalam prakteknya, Wahhabisme juga melakukan ―penumpahan darah dan penjarahan Mekkah dan Madinah, yang diikuti pemusnahan monumen-monumen historis yang mereka pandang sebagai sumber praktek menyimpang". [19]

Kronologi Wahhabisme ke-I
Jauh sebelum itu, Wahhabi sebenarnya sudah berkembang sejak lama. Nama "Wahabisme" dan "Wahabi" berasal dari Muhammad ibn Abd al Wahhab (1703-1792). [20] Nama ini diberikan orang-orang yang berada di luar gerakan tersebut, dan kerap kali dengan makna yang terkesan buruk. Kaum Wahabi sendiri lebih suka istilah al-Muwahhidun atau Ahl al-Tawhid sebagai nama kelompok mereka. Secara intelektual gerakan ini adalah marjinal, tetapi bernasib baik karena muncul di Semenanjung Arab (meski di Najd, yang relatif jauh dari semenanjung itu) dan karena itu dekat dengan Haramayn, yang secara geografis merupakan jantung dunia Muslim. Selain itu, dinasti Saudi, yang menjadi patron gerakan Wahabisme, bernasib baik ketika pada abad keduapuluh mereka memperoleh kekayaan minyak yang luar biasa, yang sebagiannya digunakan menyebarluaskan Wahabisme. Jika tidak ada dua faktor tersebut, Wahabisme mungkin saja hanya dicatat dalam sejarah sebagai gerakan sektarian yang marjinal dan berumur pendek. Kedua faktor yang sama pula, yang diperkuat dengan adanya sejumlah kesamaan dengan kecenderungan-kecenderungan kontemporer lainnya di dunia Islam, telah menyebabkan Wahabisme dapat bertahan lama.

Pada sekitar tahun 1777, Muhammad ibn Abdul Wahhab  tinggal di Dar'iyah, Arabia, dan di sana ibn al-Wahhab menjadi "pemimpin spiritual" keluarga besar Sa`ud. Pada masa itu, klan Sa`ud adalah sebuah kelompok pembesar atau elite lokal yang sedang berusaha untuk memperluas pengaruh dan wewenang. Wahhab lalu menandatangani semacam "perjanjian kerja sama" dengan Muhammad ibn Sa`ud, pemimpin klan di atas. Ibn al-Wahhab dan pengikut-pengikutnya akan mendukung upaya-upaya keluarga ibn al-Sa`ud untuk memperluas pengaruh dan wewenang mereka, dan keluarga al-Sa`ud – sebagai konpensasinya – akan menyebarkan versi Islam Wahhabi yang puritan itu. Dengan terbentuknya koalisi antara Ibn Sa`ud dan `Abd al-Wahhab, Wahhabiyah menjadi ideologi keagamaan bagi suatu unifikasi antarsuku di Arabia Tengah dan apa yang dapat disebut sebagai gerakan Wahhabiyah pun dimulai. Di bawah kepemimpinan militer `Abd al-`Aziz, anak Muhammad ibn Sa`ud, mereka mulai ekspansi mereka ke Riyadh, Kharj, dan Qasim di wilayah Arabia Tengah pada 1792.

Setelah berhasil menduduki wilayah itu, mereka melanjutkan ekspansi ke timur ke Hasa, dan menghancurkan kekuasaan Banu Khalid di wilayah itu. Lalu, ekspansi dilanjutkan ke Teluk Persia dan Oman: Qatar mengakui kekuasaan Saud-Wahhabi pada 1797, dan Bahrain menyusul tak lama kemudian. Mereka semua diwajibkan untuk membayar zakat ke Dir`iyyah. Ekspansi lain mencapai ladang subur Mesopotamia, sekaligus mengancam bagian-bagian penting daerah kekuasaan Turki Usmani. Dengan kemarahan yang tak terkontrol, mereka menghancurkan makam-makam Ali, Husayn, imam-imam Ahlul bait, dan khususnya kepada makam puteri Nabi, Fatimah. Pada tahun 1803-1804, pasukan Wahabi juga menyerbu Mekkah dan Madinah. Mereka membunuh syekh dan orang awam yang tidak bersedia masuk Wahabi. Pada 1804, Mekkah jatuh ke tangah Wahabi. Dunia Islam guncang, lebih-lebih karena mendengar kabar bahwa makam nabi telah dinodai dan dijarah, rute jamaah haji ditutup, dan segala bentuk peribadatan yang tidak sejalan dengan praktik Wahabi dilarang. Abd al-Aziz, yang setelah kematian Muhammad ibn Abd al-Wahhab memegang dua gelar amir dan imam sekaligus, wafat pada 1806. Ia digantikan oleh putranya, Sa`ud ibn Sa`ud yang berkuasa sampai 1814, yang digantikan putranya bernama Abdullah ibn Sa`ud. [21]

Kronologi Wahhabisme ke-II
Pada 1843, Imam Wahhabi, Faisal Ibn Turki al-Saud berhasil melarikan diri dari penjara di Cairo dan kembali ke Najd. Imam Faisal kemudian mulai melakukan kontak dengan Pemerintah Inggeris. Pada 1848, dia memohon kepada Residen Politik Inggeris (British Political Resident) di Bushire agar mendukung perwakilannya di Trucial Oman. Pada 1851, Faisal kembali memohon bantuan dan dukungan Pemerintah Inggeris. [22]

Dan hasilnya, Pada 1865, Pemerintah Inggeris mengirim Kolonel Lewis Pelly ke Riyadh untuk mendirikan sebuah kantor perwakilan Pemerintahan Kolonial Inggeris dengan perjanjian (pakta) bersama Dinasti Saudi-Wahhabi. Untuk mengesankan Kolonel Lewis Pelly bagaimana bentuk fanatisme dan kekerasan Wahhabi, Imam Faisal mengatakan bahwa perbedaan besar dalam strategi Wahhabi : antara perang politik dengan perang agama adalah bahwa nantinya tidak akan ada kompromi, kami membunuh semua orang. [23]

Pada 1866, Dinasti Saudi-Wahhabi menandatangani sebuah perjanjian ―persahabatan‖ dengan Pemerintah Kolonial Inggeris, sebuah kekuatan yang dibenci oleh semua kaum Muslim, karena kekejaman kolonialnya di dunia Muslim. Sebagai pertukaran atas bantuan pemerintah kolonial Inggeris yang berupa uang dan senjata, pihak Dinasti Saudi-Wahhabi menyetujui untuk bekerja-sama dengan pemerintah kolonial Inggeris yaitu : pemberian otoritas atau wewenang kepada pemerintah kolonial Inggeris atas area yang dimilikinya. Dari semua penguasa Muslim, yang paling merasa disakiti atas pengkhianatan Dinasti Saudi-Wahhabi ini adalah seorang patriotik bernama al-Rasyid dari klan al-Hail di Arabia tengah dan pada 1891, dan dengan dukungan orang-orang Turki, al-Rasyid menyerang Riyadh lalu menghancurkan klan Saudi-Wahhabi. Bagaimanapun, beberapa anggota Dinasti Saudi-Wahhabi sudah mengatur untuk melarikan diri; di antara mereka adalah Imam Abdul-Rahman al-Saud dan putranya yang masih remaja, Abdul-Aziz. Dengan cepat keduanya melarikan diri ke Kuwait yang dikontrol Kolonial Inggeris, untuk mencari perlindungan dan bantuan Inggris.

Kronologi Wahhabisme ke-III
Melalui strategi licin kolonial Inggeris di Jazirah Arab pada awal abad 20, yang dengan cepat menghancurkan Kekhalifahan Islam Utsmaniyyah dan sekutunya klan al-Rasyid secara menyeluruh, kolonial Inggeris langsung memberi sokongan kepada Imam baru Wahhabi Abdul-Aziz. Dibentengi dengan dukungan kolonial Inggeris, uang dan senjata, Imam Wahhabi yang baru, pada 1902 akhirnya dapat merebut Riyadh. Salah satu tindakan biadab pertama Imam baru Wahhabi ini setelah berhasil menduduki Riyadh adalah menteror penduduknya dengan memaku kepala al-Rasyid pada pintu gerbang kota.

Abdul-Aziz dan para pengikut fanatik Wahhabinya juga membakar hidup-hidup 1.200 orang sampai mati. Sir Percy Cox, Captain Prideaux, Captain Shakespeare, Gertrude Bell, dan Harry Saint John Philby (yang dipanggil "Abdullah") adalah di antara banyak pejabat dan penasihat kolonial Inggeris yang secara rutin mengelilingi Abdul-Aziz demi membantunya memberikan apa pun yang dibutuhkannya. Dengan senjata, uang dan para penasihat dari Inggeris, berangsur-angsur Imam Abdul-Aziz dengan bengis dapat menaklukkan hampir seluruh Jazirah Arab di bawah panji-panji Wahhabisme untuk mendirikan Kerajaan Saudi-Wahhabi ke-3, yang saat ini disebut Kerajaan Saudi Arabia. Ketika mendirikan Kerajaan Saudi, Imam Wahhabi, Abdul-Aziz beserta para pengikut fanatiknya, dan para "tentara Tuhan", melakukan pembantaian yang mengerikan, khususnya di daratan suci Hijaz. Mereka mengusir penguasa Hijaz, Syarif, yang merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw.

Pada Mei 1919, di Turbah, pada tengah malam dengan cara pengecut dan buas mereka menyerang angkatan perang Hijaz, membantai lebih 6.000 orang. Pada bulan Agustus 1924, tentara Saudi-Wahabi mendobrak memasuki rumah-rumah di Hijaz, kota Taif, mengancam mereka, mencuri uang dan persenjataan mereka, lalu memenggal kepala anak-anak kecil dan orang-orang yang sudah tua. Tentara primitif Saudi-Wahhabi ini juga membunuhi para ulama dan orang-orang yang sedang melakukan shalat di masjid; tanpa pandang bulu mereka membantai hampir semua laki-laki yang mereka temui di jalan-jalan; dan merampok apa pun yang dapat mereka bawa. Lebih dari 400 orang tak berdosa ikut dibantai dengan cara mengerikan di Thaif. [24] Berdasarkan paparan singkat ini (belum paparan yang jelas), sudah sangat jelas bagaimana Wahhabi berkembang, yaitu disertai dengan pembunuhan dan pengrusakan. Seperti inikah perilaku kaum yang mengaku Islam paling murni, paling benar sendiri, ahli tauhid?

Rencana Ibnu Saud (Abdul Aziz) untuk menghancurkan situs-situs sejarah, termasuk makam Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar ash-Shiddiq, dan Umar ibn Khaththab dapat dihentikan oleh Komite Hijaz yang didirikan oleh kyai-kyai pesantren sebagai cikal bakal Nahdlatul 'Ulama, dengan dipimpin Syaikh Ghonaim al-Mishri dan KH. Abdul Wahhab Chasbullah. Sehingga, makam Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar ash-Shiddiq, dan Umar ibn Khaththab sampai sekarang masih tetap ada, adalah berkat jasa Nahdlatul 'Ulama dalam menghentikan rencana bodoh Kerajaan Saud. [25] Lantas, atas dasar apa amalan sufi dianggap amalan quburiyyun, padahal amalan tawasul, ziarah, dan sebagainya memiliki dalil kuat dalam Al Qur‘an, Sunnah, Ijma‘, dan Qiyas?


Notes:
[1] Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (3981), al-Darimi (2/241), Ahmad (16329), dan al-Hakim (407) yang menilainya shahih serta disetujui oleh al-Dzahabi. Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Takhrij al-Kasysyaf halaman 63 menilai hadits tersebut sebagai hadits hasan. Di sisi lain, ulama hadits kebanggaan Wahhabi, Nashiruddin al-Albani menilai bahwa hadits tersebut tidak dipersoalkan otoritasnya sebagai hujjah. Lihat : Albani, Silisilah Ahâdits al-Shahîhah wa Syay‘un min Fiqhihâ wa Fawa‘îdihâ, Volume I halaman 402—403, Riyadh : Maktabah al-Ma‘arif). Dalam teks lain, dari jalur Abdullaah bin ‗Umar, menurut riwayat Tirmidzi terdapat tambahan kata-kata ―Semua masuk neraka kecuali satu golongan. Sahabat bertanya, ―Siapakah golongan itu ya, Rasul?‖. Rasul menjawab, ―Yang mengikuti aku dan sahabatku‖.Lihat ― al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadhi bi Sharkh Jamî‘ al-Tirmidzi, Volume VII halaman 400, Beirut : Dar al-Fikr li al-Thaba‘ah wa al-Nashr wa al-Tawzi‘. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Tirmidzi (2565) dan ia mengatakan hadîts ini hasan gharib.

[2] Al-Hafidh Muhamamd Murtadla al-Zabidi, Ithaf al-Sadat al-Muttaqîn, juz 2, halaman 6, Beirut : Dâr al-Fikr.

Terdapat beberapa ulama lain yang menyatakan bahwa Asy‘ariyyah adalah Ahlussunnah. "Adapun hukumnya (mempelajari ilmu aqidah) secara umum adalah wajib, maka telah disepakati ulama pada semua ajaran. Dan penyusunnya adalah Abul Hasan Al-Asy'ari, kepadanyalah dinisbatkan (nama) Ahlussunnah sehingga dijuluki dengan Asya'irah (pengikut faham Abul Hasan al-Asy'ari)" (Al-Fawakih ad-Duwani, Ahmad an-Nafrawi al-Maliki, Dar el-Fikr, Beirut, 1415, juz 1, hal. 38).

"Begitu pula menurut Ahlussunnah dan pemimpin mereka Abul Hasan al-Asy'ari dan Abu Manshur al-Maturidi" (Al-Fawakih ad-Duwani, juz 1 hal. 103)

"Dan Ahlul-Haqq (orang-orang yang berjalan di atas kebenaran) adalah gambaran tentang Ahlussunnah Asya'irah dan Maturidiyah, atau maksudnya mereka adalah orang-orang yang berada di atas sunnah Rasulullah Saw., maka mencakup orang-orang yang hidup sebelum munculnya dua orang syaikh tersebut, yaitu Abul Hasan al-Asy'ari dan Abu Manshur al-Maturidi" (Hasyiyah Al-'Adwi, Ali Ash-Sha'idi Al-'Adwi, Dar El-Fikr, Beirut, 1412, juz 1, hal. 105).

"Dan yang dimaksud dengan ulama adalah Ahlussunnah Wal-Jama'ah, dan mereka adalah para pengikut Abul Hasan al-Asy'ari dan Abu Manshur al-Maturidi radhiyallaahu 'anhumaa (semoga Allah ridha kepada keduanya)" (Hasyiyah At-Thahthawi 'ala Maraqi al-Falah, Ahmad At-Thahthawi al-Hanafi, Maktabah al-Babi al-Halabi, Mesir, 1318, juz 1, hal. 4).

[3]Lihat : Muhammad Idrus Ramli, Madzhab Al-Asy‘ari Benarkah Ahlussunnah wal Jama‘ah : Bantahan Terhadap Aliran Salafi, halaman 234—283, Surabaya : Penerbit Khalista, 2009.

[4] Seperti yang dikatakan oleh Al-Hafidh Muhamamd Murtadla al-Zabidi dalam Ithaf al-Sadat al-Muttaqîn, juz 2, halaman 7 bahwa ―Hendaknya diketahui, bahwa masing-masing dari al-Imam Abu Hasan al-Asy‘ari dan al-Imam Abu Manshur al-Maturidi tidak membuat pendapat baru dan tidak menciptakan madzhab baru dalam Islam. Mereka hanya menetapkan pendapat-pendapat ulama salaf, dan membela ajaran sahabat dan Rasulullah SAW. Mereka telah berdebat dengan ahli bid‘ah dan kesesatan sampai mereka takluk dan melarikan diri."

[5] Al-Syihab al-Khafaji berkata dalam kitab Nasim al-Riyad, ―Golongan yang selamat adalah Ahlussunnah wal Jam‘ah". Dalam catatan pinggir al-Syanawai atas Mukhtashar Ibn Abi Jamrah terdapat keterangan, ―Mereka Ahlussunnah wal Jama‘ah adalah Abu al-Hasan al-Asy‘ari dan pengikutnya yang merupakan ahlussunnah dan pemimpin para ulama karena Allah SWT menjadikan mereka sebagai hujjah atas makhluk-Nya dan hanya mereka yang menjadi rujukan kaum muslimin dalam urussan agama. Mereka yang dimaksud dalam sabda Nabi Muhammad SAW ―Sesungghnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku atas kesesatan". Lihat : KH. Muhammad Hasyim Asy‘ari, Risalah Ahlussunnah wal Jama‘ah halaman 23, Jombang : Maktabah al-Turats.

[6] Dari Iyadh al-Asy‘ari Radliyallahu ‗Anhu, dia berkata : ―Ketika ayat, ―Allah SWT akan mendatangkan satu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya‖, maka Rasulullah SAW bersabda sambil menunjuk kepada Abu Musa al-Asy‘ari : ―Mereka adalah kaumnya laki-laki ini.‖ Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak (3177) dan menilainya shahih sesuai pernyataan Muslim serta disetujui oleh al-Hafidh al-Dzahabi. Selain itu, al-Qusyairi berkata ―Pengikut madzhab Abu al-Hasan al-Asy‘ari termasuk kaum Abu Musa al-Asy‘ari karena setiap terjadi penisbatan kata kaum terhadap seorang nabi di dalam al-Qur‘an, maka yang dimaksudkan adalah pengikutnya. Lihat : Ahmad ibn Muhammad al-Qurthubi, al-Jami‘ li Ahkâm al-Qur‘ân, juz 6, (Beirut : Dâr al-Fikr), halaman 220.

[7] KH. Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama Jilid 3, (Jakarta : Penerbit Pustaka Tarbiyah, 2000), halaman 35.

[8] Ibid, halaman 101

[9] Muhammad Idrus Ramli, Membedah Bid‘ah dan Tradisi dalam Perspektif Ahli Hadits dan Ulama Salafi, (Surabaya : Penerbit Khalista, 2010), halaman 40—41.

[10] Abiza el-Rinaldi, Haramkah Tahlilan, Yasinan, dan Kenduri Arwah, (Klaten : Pustaka Wasilah, 2012), Halaman 127.

[11] Ibid, halaman 124.

[12] Diantara dalil kirim pahala adalah Imam Zakariyya al-Anshari telah berkata : "yang masyhur di dalam madzhab Syafi‘i tentang (tidak sampainya) bacaan Al Quran adalah jika dibaca tidak di hadapan mayyit, atau tidak diniatkan untuk mayyit, atau diniatkan untuk mayyit namun tidak didoakan (kepada Allah agar pahalanya itu disampaikan kepada mayyit)." (Hukm al-Syâri‘ah Islâmiyyah fî Ma‘tam al-Arba‘în, 43). Selain itu, dalam kitab I‘anatuth Thâlibîn juz 3 halaman 22 disebutkan, "Perkataan (tidak sampainya pahala bacaan kepada mayyit) adalah pendapat yang dlaif, dan perkataan (dan berfatwa sebagian shahabat kami bahwa hal itu sampai) adalah pendapat yang mu‘tamad (yang shahih)." Imam Nawawi, seorang ulama mujtahid fatwa dalam madzhab Syafi‘i, berkata dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim, Juz 1, halaman 89 : "Barangsiapa yang hendak berbuat baik kepada ibu-bapaknya, ia boleh bersedekah untuk keduanya, dan pahala sedekah itu sampai kepada mayyit dan mayyit memperoleh manfaat darinya. Hal ini tidak ada pertikaian di antara kaum Muslimin dan inilah pendapat yang benar. Para ulama menjelaskan bahwa sesungguhnya setiap orang itu boleh menghadiahkan pahala amalnya kepada orang lain baik amal itu berupa shalat, bacaan, atau selainnya. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ad-Daruqutni : "Sesungguhnya seorang laki-laki berkata, "Ya Rasulullah, dulu saya mempunyai bapak dan ibu yang saya ini selalu bakti kepada mereka sewaktu masih hidup. Bagaimanakah caranya saya berbuat baik kepada mereka berdua setelah mereka meninggal dunia?" Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya termasuk berbakti adalah hendaknya engkau shalat untuk mereka bersama shalatmu dan berpuasa untuk mereka bersama puasamu."

[13] Hadits shahih riwayat Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak, Imam Abu Dawud dalam Sunan, Imam Malik ibn Anas dalam al-Muwaththa‘, dan Imam al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, meriwayatkan dari sahabat Abu Buraidah al-Aslami bahwa dahulu kami pada masa jahiliyah apabila salah seorang di antara kami melahirkan anak laki-lakinya maka ia menyembelih seekor kambing dan melumuri kepalanya dengan darahnya. Kemudian tatkala Allah datag membawa Islam maka kami menyembelih seekor kambing dan mencukur rambtnya serta melumurinya dengan zakfaran.

[14] Dari Ibnu 'Abbas Radliyallâhu 'Anhu, berkata : "Rasulullah SAW datang ke Madinah, lalu menemukan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‗Asyura. Lalu, mereka ditanya tentang puasa tersebut. Mereka menjawab, "Pada hari ini Allah memenangkan Musa dan Bani Israil atas Raja Fir‘aun, kami melakukan puasa karena merayakannya." Lalu Nabi SAW bersabda : "Kami lebih berhak dengan Musa daripada kalian." Lalu beliau memerintahkan umatnya berpuasa ‗Asyura. (H.R. Muslim [1130]).

[15] Dari Umair Maula Abi al-Lahm, berkata : "Rasulullah SAW lewat dan bertemu aku, lalu aku tunjukkan kepada beliau tata cara ruqyah yang aku lakukan untuk menyembuhkan orang gila pada masa Jahiliyyah. Lalu beliau berkata, "Buanglah cara yang ini dan itu, dan ruqyahlah dengan cara sisanya." Muhammad ibn Zaid berkata : "Aku menjumpai Umair melakukan ruqyah terhadap orang gila dengan cara tersebut." (H.R. Ahmad, Abu Ya‘la, dan al-Thabrani)

[16] Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy‘ari Tentang Ahlussunnah wal Jama‘ah, (Surabaya : Penerbit Khalista, 2010), halaman 125.

[17] Lihat : Martin van Bruinnesen, NU : Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencaiian Wacana Baru, (Yogyakarta : LKiS, 1994), Halaman 30.

[18] Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia : Pendekatan Fikih dalam Politik, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1994), halaman 56.

[19] Azyumardi Azra, ―Fenomena Fundamentalisme Dalam Islam : Survey Historis dan Doktrinal‖, Jurnal Ulumul Qur‘an Nomor 3 Volume IV Tahun 1993 : 18—24; Muhammad Zayni Dahlan, Kitab al-Durar al-Saniyah fi Radd ‗ala Wahhabiyah, (Istanbul, Hakikat Kitabevi, 1997), halaman 38—43.

[20] Ayahnya Muhammad ibn Abdul Wahhab, yang bernama Abdul Wahhab, dan kakaknya yang bernama Sulaiman ibn Abdul Wahhab telah bersaksi bahwa Muhammad ibn Abdul Wahhab bukanlah oran yang faqih dalam agama Islam. Bahkan, Abdul Wahhab bersaksi bahwa anaknya, Muhammad ibn Abdul Wahhab, tidak suka mengaji fiqh.

Dari kalangan ulama madzhab Hanbali, al-Imam Muhammad bin Abdullah bin Humaid al-Najdi berkata dalam kitabnya al-Suhub al-Wabilah 'ala Dharaih al-Hanabilah ketika menulis biografi Syaikh Abdul Wahhab, ayah pendiri Wahhabi, sebagai berikut: "Abdul Wahhab bin Sulaiman al-Tamimi al-Najdi, adalah ayah pembawa dakwah Wahhabiyah, yang percikan apinya telah tersebar di berbagai penjuru. Akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan. Padahal Muhammad (pendiri Wahhabi) tidak terang-terangan berdakwah kecuali setelah meninggalnya sang ayah. Sebagian ulama yang aku jumpai menginformasikan kepadaku, dari orang yang semasa dengan Syaikh Abdul Wahhab ini, bahwa beliau sangat murka kepada anaknya, karena ia tidak suka belajar ilmu fiqih seperti para pendahulu dan orang-orang di daerahnya. Sang ayah selalu berfirasat tidak baik tentang anaknya pada masa yang akan datang. Beliau selalu berkata kepada masyarakat, "Hati-hati, kalian akan menemukan keburukan dari Muhammad." Sampai akhirnya takdir Allah benar-benar terjadi. Demikian pula putra beliau, Syaikh Sulaiman (kakak Muhammad bin Abdul Wahhab), juga menentang terhadap dakwahnya dan membantahnya dengan bantahan yang baik berdasarkan ayat-ayat al-Qur‘an dan hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Syaikh Sulaiman menamakan bantahannya dengan judul Fashl al-Khithab fi al-Radd 'ala Muhammad bin Abdul Wahhab. Allah telah menyelamatkan Syaikh Sulaiman dari keburukan dan tipu daya adiknya meskipun ia sering melakukan serangan besar yang mengerikan terhadap orang-orang yang jauh darinya. Karena setiap ada orang yang menentangnya, dan membantahnya, lalu ia tidak mampu membunuhnya secara terang-terangan, maka ia akan mengirim orang yang akan menculik dari tempat tidurnya atau di pasar pada malam hari karena pendapatnya yang mengkafirkan dan menghalalkan membunuh orang yang menyelisihinya." (Ibn Humaid al-Najdi, al-Suhub al-Wabilah 'ala Dharaih al-Hanabilah, hal. 275).

[21] Silakan kunjungi laman http://www.facebook.com/groups/107806049294480/doc/230932260315191/
Dengan judul ―Sejarah Wahhabi (Bagian 1)‖.

[22] Gary Troeller, The Birth of Saudi Arabia: Britain and the Rise of the House of Sa‘ud (London: Frank Cass, 1976), p. 15-16.

[23] Quoted in Robert Lacey, The Kingdom: Arabia and the House of Saud (New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1981), p. 145.

[24] Mengenai sejarah dan segala sesuatu tentang gerakan Wahhabi, silakan kunjungi laman berikut ini : http://www.facebook.com/messages/?action=read&tid=id.294967117217972#!/groups/107806049294480/doc/232160790192338/. Sejarah Wahhabi yang lain dapat dibaca di laman http://www.sarkub.com/2011/wahabi-didesain-untuk-hancurkan-islam-sebuah-kajian-tajam/, http://www.sarkub.com/2011/raja-saudi-arabia-keturunan-yahudi/, http://www.sarkub.com/2011/wahabi-penghancur-peradaban-islam/, http://www.sarkub.com/2011/globalis-menciptakan-terorisme-wahhabi-untuk-menghancurkan-islam-dan-menjustifikasi-negara-dunia/, http://www.sarkub.com/2011/islam-garis-keras-imperialisme-dan-wahabi-2/, http://www.sarkub.com/2011/islam-garis-keras-imperialisme-dan-wahabi-3/, http://www.sarkub.com/2011/islam-garis-keras-imperialisme-dan-wahabi-4/, http://www.sarkub.com/2011/islam-garis-keras-imperialisme-dan-wahabi-5-2/, http://www.sarkub.com/2011/islam-garis-keras-imperialisme-dan-wahabi-6/.

Dalam referensi buku, sangat banyak yang menjelaskan tentang kebengisan Wahhabi ini, misalkan buku Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Wahabi, Mereka Membunuh Semuanya Termasuk Para Ulama, (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2011), Syaikh Idahram, Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahhabi, (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2011), Syaikh Fathi al-Azhari, Radikalisme Sekte Wahhabiyah, (Malang : Pustaka Bayan, 2010). Bantahan terhadap ajaran-ajaran Wahhabi dapat dibaca di berbagai buku, salah satunya karya Dr. M. Said Ramadhan al-Buthi, Menampar Propaganda ―Kembali Kepada Qur‘an‖ : Keruntuhan Argumentasi Paham Anti Madzhab dan Anti Taqlid, (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2013), yang merupakan terjemahan dari Al-Lâ Madzhâbiyyah : Akhthâru Bid‘ah Tuhaddidu asy-Syâri‘ah al-Islâmiyyah.

[25] Tentang dinamika antara Wahhabi dan Komite Hijaz, bisa dibaca buku karya KH. A. Busyairi Harits, M.Ag., Islam NU, Pengawal Tradisi Sunni Indonesia, (Surabaya : Penerbit Khalista, 2010), halaman 97—111 dan halaman 168—186; Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy‘ari tentang Ahlussunnah wal Jama‘ah, (Surabaya : Penerbit Khalista, 2010), halaman 131—138. Naskah Surat Komite Hijaz dan balasannya dari Raja Saud yang asli dapat dilihat di Museum NU. Sedangkan Piagam Komite Hijaz dapat dilihat di buku Ensiklopedia Nahdlatul 'Ulama : Sejarah, Tokoh, dan Khazanah Pesantren Jilid Satu, (Jakarta : Matabangsa, 2014), halaman 233—235.

*Ahmad Saifuddin
Wakil Sekretaris PW IPNU Jawa Tengah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar